Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
INDONESIA dan dunia tengah secara serius dihadapkan pada tiga isu prioritas pangan. Diskursus tentang isu ini bukan semata-mata karena situasional yang berdekatan dengan kontestasi pemilihan umum (Pemilu) serentak yang berlangsung pada 14 Februari 2024, tapi karena urgensi kebutuhan pangan yang dinamis.
Diskursus ini bukan kebutuhan yang mudah dikesampingkan. Wacana penanganan keberlanjutan pangan perlu dilaksanakan secara berkesinambungan demi ketahanan pangan yang dapat diandalkan secara penuh. Dalam tantangan terkini, kenaikan harga beras dan gabah akan meningkatkan nilai tukar petani atau NTP tanaman pangan.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Kementan RI), NTP tanaman pangan Januari 2024 sebesar 116,16, atau naik 1,66 persen secara bulanan. (Kementan RI, 2024).
Potret ini menunjukkan jika harga beras yang masih bertahan tinggi dan cenderung naik yang memicu lahirnya inflasi per enam bulan berturut-turut. Dalam langkah ini bantuan dan intervensi beras secara efektif akan mampu meredam harga beras yang melonjak tinggi.
Tantangan ini jelas menjadi fokus perhatian bersama karena jika daya redam tak terkondisikan dengan baik akan mengganggu stabilitas ketahanan secara tahunan.
BACA JUGA: Melihat Proyeksi Pangan 2024
Rasionalitas Data
Dalam analisis terbaru, Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Februari 2024 merilis jika data penting terkait ketahanan tingkat inflasi berlangsung selama Januari 2024 yang berada dalam kisaran angka 0,04 persen secara bulanan dan 2,56 persen secara tahunan.
Dari data ini ditemukan jika komoditas beras menjadi komoditas utama penyumbang inflasi. Lebih jauh lagi, tingkat inflasi bulanan dan tahunan beras pada Januari 2024 masing-masing sebesar 0,64 persen dan 15,65 persen. (BPS, 2024).
Dari sini dapat dimaknai jika kontribusi komoditas pangan pokok terhadap inflasi bulan adalah sebesar 0,03 persen dan inflasi tahunan sebesar 0,56 persen. Terjadinya penguatan inflasi beras ini terjadi sejak Agustus 2023, yakni sebesar1,43 persen secara bulanan.
Dalam tinjauan lainnya pada bulan September 2023, inflasi beras berada di level tertinggi,yakni 5,61 persen. Lalu, saat memasuki Oktober, November, dan Desember 2023 tingkat inflasinya masing-masing 1,72 persen, 0,43 persen, dan 0,48 persen.
Adanya inflasi ini menunjukkan jika harga beras secara akumulatif masih cukup tinggi dan ini sepertinya turut berlaku pada pasar eceran. Misalnya, harga eceran pada pada Januari 2024 sebesar Rp 14.380 per kilogram atau naik 0,63 persen secara bulanan dan 16,24 persen secara tahunan.
Dalam realitas ini, harga beras masih tinggi karena neraca produksi dan kebutuhan beras di dalam negeridefisit, terutama pada Januari sampai Februari 2024, akibat dampak El Nino yang berkepanjangan.
BACA JUGA: Tantangan Mengakselerasi Ketahanan Pangan
Selain itu, sejumlah negara produsen beras masih membatasi ekspor beras sehingga menghambat impor be-ras dan membuat harga beras internasional masih tinggi. Konsumsi beras nasional perbulan rata-rata sebanyak 2,5 juta ton per bulan.
Di tengah defisit beras, kebutuhan beras membengkak karena pada posisi ini pemerintah menggulirkan bantuan beras sebanyak 10 kg per bulan untuk kelompok 22 juta rumah tangga berpenghasilan rendah.Total bantuan beras yang akan digulirkan pada Januari-Juni 2024 sekitar 1,32 juta ton.
Bantuan beras diberikan untuk meringankan beban pengeluaran dari masyarakat berpenghasilan rendah di tengah masih tingginya harga beras. Selain itu, pemerintah juga sepertinya akan menggulirkan cadangan beras pemerintah (CBP) untuk mengintervensi pasar beras dengan target sebanyak 1,2 juta ton pertahun.
Per akhir Januari 2024, CBP yang dikelola Perum Bulog sebanyak 1,4 juta ton. Untuk menambah CBP, pemerintah meminta Bulog mengimpor beras sebanyak 2 juta ton pada tahun ini.
Apakah langkah ini tepat tentu hanya waktu yang dapat menjawab, karena di beberapa kawasan Indonesia memang masih belum memasuki panen raya artinya secara kondisional memang pasokan beras masih belum merata.
BACA JUGA: Kesadaran Teknokratis Sistem Pangan Nasional
Urgensi Target
Tak dapat dipungkiri jika pemerintah terpaksa mengimpor beras karena produksi beras nasional turun akibat dampak El Nino. Impor beras akan dihentikan pada Maret 2024 atau menjelang panen raya padi yang diperkirakan berlangsung pada April 2024.
Di tengah perencanaan itu, alokasi dana untuk mengimpor 2 juta ton beras sebesar Rp 20 triliun. Angkaini jelas cukup besar ditengah analisis prediksi akan terjadinya panen raya pada bulan April 2024. Tapi sekali lagi persoalan intervensi harga beras yang stabil menjadi poin pokok untuk dapat meredam harga beras naik lebih tinggi.
Sebagai komparasi, untuk saat ini harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani di kisaran Rp 7.000-Rp 8.000 per kg. Kalau gabah tersebut dijadikan beras,serta tanpa ada bantuan dan intervensi harga beras, harga beras bisa di atas Rp 18.000 hingga Rp 20.000 per kg.
Kenaikan harga beras dan gabah juga berpengaruh pada nilau tukat petanai (NTP), terutama tanaman pangan. BPS mencatat, NTP tanaman pangan pada Januari 2024 sebesar 116,16, naik 1,66 persen secara bulanan.
BACA JUGA: Mengeluhkan Kenaikan Harga Beras Meskipun Surplus
Jika dirasionalkan pada pendapatan petani padi maka akan didapat harga yang cukup pantas bagi petani setiap bulannya karena akan mendapatkan kenaikan kisaran hasil 1,92 persen untuk setiap petani.
Untuk menjaga ruang kestabilan peningkatan pendapatan ini maka harus didorong peningkatan kenaikan harga GKP di tingkat petani. PadaJanuari 2024, harga rerata GKP di tingkat petani Rp.6.925 per kg, yang akan naik 2,97 persen secara bulanan dan 18,64 persen secara tahunan.
Pendapatan tersebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran petani yang tecermin dalam indeks harga yang dibayar oleh petani. Indeks ini akan naik 0,25 persen dari 119,09 pada bulan Desember 2023 menjadi 119,39 pada Januari 2024.
Adanya kenaikan NTP tanaman pangan itu membuktikan petani turut menikmati kenaikan harga gabah dan beras. Hal itu juga menunjukkan masuknya beras impor tidak ”memukul” harga gabah ditingkat petani.
Secara rasional langkah prioritas yang perlu dilakukan oleh pemerintah haruslah berorientasi pada tujuan pembangunan Berkelanjutan (SDGs) agar mampu menghadapi krisis pangan, dan keanekaragaman pangan lokal.
BACA JUGA: Tantangan Industrialisasi Indonesia
Urgensi pangan dan pertanian dalam SDGs itu sangat penting karena menyangkut ketahanan pangan dan gizi masyarakat. Oleh karena itu, banyak negara, termasuk Indonesia yang mencari bentuk-bentuk percepatan dan transformasi nyata agar SDGs itu sukses tercapai pada 2030.
Apalagi, Organisasi Pangandan Pertanian (FAO) menyerukan pentingnya mengatasi hidden cost (biaya tersembunyi) yang memberikan ruang dan dukungan penuh kepada komunitas sains untuk mengembangkan riset dan inovasi.
Potensi ini jelas dibutuhkan demi mendukung kedaulatan pangan untuk tangkas dalam transformasi sistem pangan Indonesia demi mampu menekan angka stunting dan menyelamatkan kualitas bonus demografi.
Pada proporsi ini pemerintah diharapkan dapat memberikan perhatian lebih pada pemajuan sains utamanya pemanfaatan penelitian berbasis sains yang terukur. Rasionalitas ini akan membuat formulatif kebijakan pemerintah berdampak baik bagi masyarakat luas.
BACA JUGA: Harapan Sensus Pertanian 2023
Pemerintah dirasa juga harus lebih perhatian untuk memberdayakan pangan lokal untuk ketahanan pangan yang sesuai dengan kawasan pengembangan dan sumber daya manusia yang tersedia di lokal itu.
Jika semua dorongan pemajuan ini dikonstruksi secara matang maka bukan hal yang mustahil jika antar wilayah Indonesia mampu memberikan kontribusi rasional dalam pemasukan pasokan pangan secara berkelanjutan yang pada gilirannya akan memberikan kemandirian produksi pangan dalam negeri dan tidak lagi melakukan kebijakan impor secara besar.
====
Penulis Peneliti dan Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]