Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
JAMINAN kepastian kelancaran produksi pangan saat memasuki Tahun Baru 2024 telah menuntut kesadaran realisasi kebijakan pangan pada 2024. Di tengah antusiasme pemerintah yang ingin membangun percepatan pembangunan nasional, sikap fokus untuk menjaga kestabilan pangan harus ditindaklanjuti secara tuntas.
Apalagi saat ini Indonesia memasuki fase elnino gorilla, kondisi kekeringan ekstrem turut memicu hadirnya curah hujan di bawah normal. Sebagai antisipasi, pemerintah harus bergerak cepat memastikan kordinasi kebijakan pangan dapat terus stabil sampai tahun 2024.
Tak hanya bicara soal kestabilan pangan, tantangan terbesar dalam masalah pangan adalah masalah soliditas mengurangi persentase daerah-daerah Indonesia yang rawan pangan.
Berdasarkan data resmi Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Kementan RI) dari daerah pada 2022 menjadi 61 daerah pada 2024. (Kementan RI, 2023). Konteks ini menunjukkan pentingnya langkah taktis dan terukur guna menjawab tantangan rawan pangan yang boleh saja semakin meningkat pada 2024.
BACA JUGA: Tantangan Mengakselerasi Ketahanan Pangan
Beberapa model yang dapat dikembangkan, di antaranya adalah sinkronisasi dalam konversi lahan pertanian, melakukan berbagai skematisasi produktivitas tanaman pangan, percepatan proses regenerasi petani serta program mitigasi praktis dalam mencegah dampak stimultan adanya perubahan iklim.
Fakta Rasional
Untuk menyelesaikan berbagai kompleksitas masalah pangan, pemerintah Indonesia tak hanya berfokus pada soal percepatan pengurangan daerah-daerah rentan rawan pangan tapi juga harus cepat dalam memetakan kesiapsiagaan menghadapi krisis pangan di semua pelosok daerah Indonesia.
Efektivitas program Badan Pangan Nasional (Bapanas) dalam peraturan Bapanas Nomor 19 Tahun 2023 tentang Kesiapsiagaan Krisis Pangan harus benar-benar terealisasi secara akurat.
Dengan secara jeli melihat periodik sistem pangan dan kesesuaian pada sisi budaya empiris yang menyertainya. Hilirisasi mitigasi kerawanan harusnya melibatkan pertimbangan sisi sejarah pangan yang ada pada kawasan tersebut.
Secara proporsional, susun rancang peta ketahanan dan kerawanan pangan perlu terus dimutakhiran, dengan memandang kapasitas cadangan pangan pemerintah daerah dan nasional.
Baik daerah dan pemerintah pusat harus memastikan jangkauan pemenuhan pangan dapat tercukupi. Tindakan ini memang bagian wujud lanjutan dari implementasi Peraturan Bapanas No19/2023 yang mendefinisikan kembali tentang krisis pangan sebagai kondisi kelangkaan pangan yang dialami sebagian besar masyarakat di wilayah Indonesia.
BACA JUGA: Kesadaran Teknokratis Sistem Pangan Nasional
Masalah klasik seperti kesulitan tata kelola distribusi pangan, masalah perubahan iklim, tantangan bencana alam, serta konflik agrarian menjadi serangkaian problematik yang menjadi muara dalam kesiapsiagaan penanggulangan pangan.
Berbagai tindakan seperti pengorganisasian yang tepat dan berdaya guna akan memberi bantalan yang sangat kuat dalam pengemb angan sektor pangan secara luas.
Jika melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dalam perjalanan selama lima tahun terakhir sejak 2018 samapi 2023 maka luas lahan baku sawah mengalami penyempitan sebesar 648.800 hektar (ha), yakni dari7,7 juta ha menjadi 7,1 juta ha (BPS,2023). Indikasi ini jelas menunjukkan bahwa ada banyak sawah di Indonesia yang telah beralih fungsi menjadi lahan non pertanian.
Penyempitan lahan sawah jelas berdampak penuh dengan terjadinya penurunan produktivitas padi nasional sejak 2014. Masih berdasarkan data BPS, angka produktivitas yang semula berada dalam kisaran 5,15 ton per ha pada 2014. Faktanya mengalami angka penurunan pada 2022 yakni sebesar 5,24 ton per ha (BPS, 2023).
Adapun jika merujuk data hasi sensus tahunan 2023 tahap 1, jumlah para pekerja aktif yang mengurus pertanian di Indonesia bukan pada pada usia yang produktif. Rata – rata petani Indonesia adalah orang yang sudah berumur tua.
BACA JUGA: Mengeluhkan Kenaikan Harga Beras Meskipun Surplus
Usia petani Indonesia rata-rata berusia 50 sampai 65 tahun. Potret ini jelas menunjukkan minimnya regenerasi petani di Indonesia.
Tak menentunya pola cuaca juga menjadi tantangan serius dalam mempertahankan kestabilan pangan dalam negeri, jika fenomena El Nino semakin intensif hingga Maret 2024 maka pada situasi pertengahan tahun, kerentanan pangan dapat saja terjadi.
Masalah perubahan iklim kiranya harus masuk dalam kajian prioritas pemerintah karena jika tidak memitigasi sejak dini dikhawatirkan produktivitas pangan lokal menjadi terhambat, karena petani lebih terfokus pada produksi komoditas pangan umum.
Padahal salahsatu fondasi dari hilirisasi sistem pangan nasional yang baik adalah jika serapan produktivitas pangan lokal mampu menjadi andalan pangan alternatif bagi masyarakat.
BACA JUGA: Tantangan Industrialisasi Indonesia
Dasar Pemetaan
Keniscayaan terjadinya perubahan struktur pertumbuhan ekonomi dari lingkungan ekonomi berbasis pertanian dan sumber daya alam ke sektor yang berbasis industri manufaktur dan jasa telah mengubah secara sistematis mata rantai kebutuhan konsumsi masayarakat.
Per hari ini semua negara yang tergolong maju sudah mulai serius menghadapi geliat perubahan taktis tersebut. Proses transformasi tak lagi berlaku pada kemasan produk tapi sudah mengubah mentalitas dan min set pertanian secara frontal.
Tak hanya gerakan regenerasi petani yang dibangun secara lebih modern. Kepemilikan lahan juga diorganisir secara sistem digital. Dibeberapa negara bahkan sudah punya peta digital kawasan lahan pertanian mana saja yang profit dan mana yang masih perlu pendampingan.
Ada 4 dasar pikiran yang layak menjadi fokus perhatian baru pemerintah. Pertama, pemerintah harus dapat melakukan perbaikan ruang kesejahteran petani menjadi poin utama yang menjadi fokus perhatian banyak negara maju di dunia saat ini.
Di beberapa negara seperti Norwegia bahkan telah membuat jadwal kerja regular terhadap intensitas produktivitas.Pemerintah harus dapat memfasilitasi bantuan modal secara langsung dengan target tertentu yang membuat para petani berupaya secara matang melakukan swastanisasi pertanian secara mandiri.
Ini jelas sangat berbeda dengan cara kerja para petani Indonesia yang masih terpaku dan tergantung pada arahan dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian sebagai ujung tombak maju mundurnya kehidupan pertanian di Indonesia.
Kedua, pemerintah harus tetap konsisten melakukan diversifikasi usaha tani di tiap-tiap kampung Indonesia sekarang ini juga mengalami penurunan secara drastis.
BACA JUGA: Harapan Sensus Pertanian 2023
Komoditas usaha yang ditekuni oleh petani Indonesia relatif monoton. Jika komoditas beras menjadi primadona, semua kampung dalam satu desa di Indonesia akan dapat memproduksi beras semuanya.
Akibatnya terjadi penumpukan beras disana sini, yang menyebabkan persaingan harga menjual beras dibawah harga rata – rata menjadi tinggi. Kondisi ini menyebabkan nilai pendapatan panen petani menjadi turun karena limpahan beras dimana-mana.
Ketiga, peralihan penguasaan lahan dari petani ke bukan petani juga menjadi dilema yang masih sulit diatasi. Berdasarkan pengamatan, petani yang memiliki lahan kurang dari 1.500 meter persegi akan cenderung melepas lahannya karena usaha tani tidak lagi dianggap menguntungkan.
Situasi ini tak jarang dimamfaatkan secara licik oleh pemodal yang membeli kawasan lahan pertanian untuk diubah menjadi kawasan usaha minimarket ataupun toko. Kondisi ini jelas merusak tatanan konsep kawasan lahan pertanian secara terpadu, wilayah yang semestinya menjadi zona pertanian produktif justru berubah konsep menjadi zona perniagaan masyarakat.
Keempat, pemerintah harus dapat memberikan kepastian hukum bagi setiap pemilik lahan. Banyaknya lahan pertanian produktif yang telah beralih fungsi fakta turut diperburuk masih lemahnya sistem hukum yang mampu secara tegas melindungi kepemilikan lahan. Jual beli kawasan lahan pertanian secara ilegal ironisnya masih sering terjadi.
Banyaknya sertifikat kepemilikan lahan ganda menjadi semakin memperkeruh tata kelola pertanian dibanyak tempat Indonesia. Disinilah perlunya sebuah percepatan perbaikan sistem reforma agrarian yang memberi akses positif terhadap terwujudnya kepastian hukum atas semua lahan pertanian di Indonesia.
Sebagai publik, kita sangat menyadari jika perbaikan lintas sektor pertanian secara berkesinambungan akan memberi dampak inovasi matang terhadap roda pertanian secara luas.
Adanya pembangunan waduk, bendungan, penertiban izin hukum lahan, regenerasi melalui pendidikan petani milineal dan program pemajuan pangan lokal adalah sederet simpul pemetaan penting dalam memajukan pertanian Indonesia.
Namun, jika antar simpul pemetaan ini tidak terkoneksi dengan baik maka persiapan kita dengan percepatan program pendampingan petani, reformasi manajemen usaha tani, intensifikasi, kebijakan digitalisasi, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menjadi sia – sia.
Untuk itulah, Pemerintah harus jeli merangkum semua simpul pemetaan pertanian ini dengan rasionalisasi perencanaan terukur. Karena jika semua simpul tidak terangkum dengan baik, krisis pangan secara kronis akan menjadi kenyataan yang harus diterima oleh bangsa dan negara Indonesia tercinta ini.
====
Penulis Peneliti dan Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]