Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SIAPA yang tak pernah mendengar istilah fintech? Dewasa kini, denyut fintech kerap membersamai aktivitas sehari-hari masyarakat. Terlebih pasca pandemi, akses ke jasa keuangan telah merambah dari yang semula bersifat konvensional menjadi serba digital. Fintech merupakan salah satu jenis startup yang bergerak di bidang inovasi jasa keuangan.
Kemajuan teknologi serta perubahan skema bisnis mendorong lahirnya inklusi keuangan tidak hanya sekadar layanan dalam hal akses terhadap kemudahan jasa keuangan (pembayaran digital/digital payment dan crowdfunding), namun juga menyediakan akses dan kemudahan dalam pembiayaan (fintech, paylater, microfinance, dan lain-lain).
Metamorfosa fintech yang berkembang pada sektor keuangan menjadi instrumen penting dalam mempercepat inklusi keuangan sebagai salah satu program percepatan ekonomi.
Penggunaan teknologi keuangan pada awalnya terlihat dalam bentuk transaksi antar masyarakat dan pihak perbankan seperti e-money dan layanan kartu kredit. Penggunaan dua instrumen fintech ini memberikan kemudahan, keefektifan serta keefisienan dalam melakukan aktivitas keuangan digital.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan pada Juli 2023, industri fintech peer-to-peer lending (P2P) menggelontorkan pembiayaan sebesar 55,98 triliun.
Dengan kenaikan pertumbuhan sebesar 22,41 persen dibandingkan kondisi Juli 2022, jumlah nominal pembiayaan yang semakin melejit menunjukkan adanya trust dari lender (pemberi pinjaman) terhadap prospek fintech.
Tercatat pula sebesar 102 fintech telah beroperasi secara aktif di Indonesia, dimana 95 diantaranya adalah fintech konvensional dan 7 lainnya berbasis syariah.
BACA JUGA: Mengurai Nilai Ekonomis Limbah
Selain itu, OJK juga melaporkan melalui Statistik P2P Lending menyebutkan bahwa jumlah penyaluran pinjaman pada Januari 2024 di Pulau Jawa mengalami peningkatan sebesar 13,88 persen, dari 14.779 miliar pada Januari 2023 menjadi 16.830 miliar pada Januari 2024.
Di luar Pulau Jawa, peningkatan yang progresif melampaui penyaluran pinjaman di Pulau Jawa, naik sebesar 32, 40 persen, dari kondisi Januari 2023 mencapai 3.958 miliar menjadi 5.240 miliar pada Januari 2024.
Di Indonesia, hadirnya FinTech telah membantu masyarakat menyelesaikan berbagai masalah. Selama ini, adanya fintech dianggap sebagai stimulus yang menggerakkan roda perekonomian, terutama dari sisi konsumsi.
Inovasi pada akses jasa keuangan digital melalui pinjaman modal maupun pinjaman tunai berbasis online yang dapat disalurkan ke kantung masyarakat dalam kedipan mata.
Kemudahan ini juga diperkuat oleh data Google Report yang menyatakan bahwa sekitar 30 persen GDP Indonesia berasal dari aktivitas ekonomi berbasis digital.
Selain itu, BPS mencatat dari hasil Sensus Penduduk 2020 bahwa 55 persen penduduk Indonesia adalah Gen Z dan Milenial yang notabene merupakan digital native.
BACA JUGA: Tantangan Mengakselerasi Ketahanan Pangan
Perkuat Ekonomi Digital
Meskipun penetrasi internet serta literasi digital di Indonesia masih terbilang rendah dibandingkan negara maju lainnya, namun secara bertahap menunjukkan progres yang signifikan.
Hal ini tercermin dari Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia mencapai 5,85 pada tahun 2022, meningkat sebesar 0,09 poin dibandingkan dengan tahun 2021, dengan nilai sebesar 5,76.
Dengan semakin giatnya transaksi maupun pemanfaatan layanan keuangan melalui fintech, diharapkan akan menciptakan kesempatan-kesempatan ekonomi yang lebih unggul.
Sebagai contoh nyata, aktivitas e-commerce pada berbagai platform yang tidak hanya menawarkan kemudahan dalam transaksi jual beli barang secara online, namun juga menawarkan pilihan pembayaran baik dengan dompet digital hingga kredit digital (pay later).
Secara berkesinambungan, padatnya transaksi e-commerce sebagai salah satu manifestasi ekonomi digital masa kini, jika berkolaborasi dengan inovasi keuangan digital, dapat memberikan multiplier effect dari berbagai sektor.
Tidak hanya meningkatkan nilai tambah sektor perdagangan, baik nasional maupun internasional, tetapi juga meningkatkan nilai tambah sektor informasi dan komunikasi dan jasa keuangan. Tentunya, penguatan nilai tambah ini dapat meningkatkan ketahanan ekonomi yang resilien dan berdaya saing.
Jika ditinjau lebih lanjut dari sisi pelaku ekonomi, baik dari peran konsumen akhir maupun pelaku usaha e-commerce, fintech juga dapat menjadi mediator yang baik dalam memberikan pinjaman modal maupun tunai untuk usaha skala mikro, kecil, dan menengah dengan skema bunga lunak.
Pinjaman modal melalui fintech dapat memangkas beberapa birokrasi yang melelahkan yang biasanya terjadi pada kredit usaha konvensional. Asalkan memiliki literasi digital yang cukup baik, pelaku usaha dapat membuat akun dan memproses pembiayaan usaha.
Oleh karenanya, pemanfaatan Fintech menjadi angin segar bagi para pelaku usaha, terkhusus UMKM dimana pembiayaan modal merupakan salah satu barrier dalam merintis usaha.
BACA JUGA: Memantik Optimisme Ekonomi Sumatera Utara
Dapat Juga Menjadi Ancaman
Di samping banyaknya dampak positif yang patut disyukuri dari inovasi keuangan ini, jika tidak disikapi dengan bijak dan dewasa, jeratan pinjaman tunai juga dapat menjadi bumerang bagi konsumen akhir maupun pelaku usaha.
Ketidakhati-hatian dalam memilih dan memilah jenis dan regulasi fintech dapat menjerat masyarakat, baik pelaku usaha kecil maupun konsumen. Inovasi teknologi keuangan hendaknya dibarengi dengan peningkatan literasi digital masyarakat serta kejelian dalam memfilter informasi.
Statistik fintech berdasarkan laporan OJK 2024 mencatat bahwa sebesar 29,40 persen pinjaman disalurkan untuk kepentingan sektor produktif.
Penyaluran pinjaman didominasi oleh aktivitas ekonomi di sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 46,35 persen, penyediaan akomodasi dan makan minum sebesar 13,13 persen, aktivitas jasa lainnya sebesar 11,89 persen, serta aktivitas yang menghasilkan barang dan jasa yang dihasilkan oleh rumah tangga sebesar 11,49 persen.
Akan tetapi, implementasi fintech yang tidak terarah tidak dapat menjamin keberlangsungan aktivitas ekonomi yang kondusif, terutama yang digunakan untuk tujuan konsumtif tanpa mempertimbangkan dampak ekonomis yang dihasilkan oleh si peminjam (borrower).
Hal ini akan berujung kepada tingkat gagal bayar yang tinggi, terlebih jika telah menunda pembayaran dalam jangka waktu cukup lama. Belum lagi bunga pinjaman pada fintech yang relatif lebih tinggi dibandingkan bunga kredit konvensional pada koperasi maupun bank.
Selain itu, beberapa oknum perusahaan ilegal membaca peta kesempatan untuk meraup keuntungan seluas-luasnya, terlebih lagi yang tidak berada di bawah naungan OJK.
Ketika kebutuhan konsumen tidak didasarkan pada urgensi prioritas dan bernilai produktif, akan mendapatkan kebuntungan yang serius terlebih bila terjerat pada fintech ilegal.
Oleh karenanya, sosialisasi dan edukasi terkait pendanaan fintech harus terus dilakukan, agar manfaatnya sebagai solusi akses keuangan produktif dapat dirasakan seluas-luasnya, sehingga mendukung produktivitas masyarakat sebagai modal kerja maupun usaha.
====
Penulis Statistisi Ahli Muda BPS Kota Medan
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]