Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
DEMOKRASI sang panglima yang senantiasa menjadi bahan perbincangan hangat di negeri ini. Kali ini usia calon peserta pilkada yang menjadi sorotan banyak orang, setelah Mahkamah Agung memutuskan syarat pencalonan Pilkada. Tentu saja keputusan ini tidak luput dari berbagai spekulasi dan analisis, termasuk dugaan adanya kepentingan politik jelang Pilkada Serentak 2024 di balik ini semua.
Pada 27 November 2024, pesta demokrasi kembali digelar. Rakyat Indonesia akan memilih pemimpin baru di daerahnya masing-masing lewat Pilkada Serentak, baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi.
Namun, di tengah hiruk pikuk dinamika politik, muncul pertanyaan yang menggelitik, apakah perubahan batas minimal usia calon kepala daerah mengandung kepentingan politik pihak tertentu?
Pertanyaan ini muncul seiring dengan terbitnya putusan MA yang mengatur batas minimal usia calon kepala daerah. Sebelumnya, di PKPU Nomor 9/2020 saat mendaftar sebagai bakal calon kepala daerah provinsi batas usia minimal 30 tahun. Setelah ada putusan MA Nomor 23/P/HUM/2024, minimal usia 30 tahun itu dihitung mulai saat pelantikan pasangan calon terpilih. Bukan lagi di tahap penetapan bakal calon setelah dilakukan verifikasi data.
BACA JUGA: Potret Buram Menuju Pilkada 2024
Aturan persyaratan pencalonan Pilkada ini memang terkesan aneh dan tidak masuk akal. Mengapa harus ada perbedaan aturan pendaftaran dan pelantikan? Bukankah semua aturan berlaku sama untuk semua tahap yang ditetapkan di awal pendaftaran pasangan calon?
Putusan ini muncul setelah ada uji materi yang dilakukan oleh Ahmad Ridha Sabana selaku Ketua Umum Partai Garuda (Garda Perubahan Indonesia). Uji materi yang diterima MA pada tanggal 23 April 2024, dan didistribusikan pada 27 mei, hingga hasil putusan perkara tersebut disahkan pada 29 Mei 2024 (dikutip dari detik news.com, 30 Mei 2024).
Ada beberapa tokoh yang mencoba menanggapi fenomena ini. Menurut Feri, langkah MA dalam memutuskan PKPU tentang syarat minimal calon kepala daerah benar-benar bermasalah. Ini bukan ketidakpahaman dan bukan juga ketidaksengajaan dalam rangka mengulang kisah romantik kemarin (dikutip dari lampost.co 30 Mei 2024).
Selanjutnya Chiko Hakim sebagai jubir PDIP mengatakan putusan MA terkait usia calon kepala daerah ini merupakan upaya mengakali hukum dengan hukum. Tentunya ini bentuk pengkhianatan tertinggi pada cita-cita reformasi.
BACA JUGA: Kursi Panas Pilkada 2024 dan Peran Penting Masyarakat
Namun, di balik paradigma beberapa tokoh di atas terhadap putusan Mahkamah Agung, ada satu hal yang perlu kita ketahui bahwa sistem politik kita belum sempurna. Masih banyak aturan yang tidak adil dan tidak konsisten.
Menurut hemat saya, putusan Mahkamah Agung (MA) terkait perubahan minimal usia pendaftaran calon dan pasangan calon kepala daerah khususnya di tingkat provinsi sah-sah saja.
Akan tetapi, apa benar ini semua diperuntukan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat khususnya kaum muda dalam politik? Atau sebaliknya, diperuntukan kepada segelintir orang? Sungguh ironis ketika peraturan yang seharusnya menjadi pedoman justru selalu diubah sesuai dengan selera politik.
Tentu kita tidak menyalahkan apabila ada kaum muda yang memanfaatkan celah ini. Karena mereka hanya berusaha mewujudkan mimpi untuk memimpin daerahnya. Namun apa ini yang terbaik untuk rakyat?
BACA JUGA: Nikson Nababan yang Saya Kenal
Entahlah, yang jelas situasi ini menimbulkan banyak pertanyaan. Bayangkan saja seandainya ada seseorang yang baru berusia 27 tahun dan terpilih menjadi kepala daerah di tingkat provinsi, padahal usianya belum mencapai 30 tahun pada saat pelantikan. Bukankah kah ini terdengar lucu.
Yang menjadi harapan kita bersama, segala peraturan yang dibuat, dapat diterapkan dengan konsisten, jujur, adil dan tanpa menguntungkan pihak-pihak tertentu dalam rangka untuk menjaga kualitas kepemimpinan di daerah.
Rakyat berhak mendapatkan pemimpin yang matang, berpengalaman dan visioner. Dan bukan seperti pemimpin yang hanya memanfaatkan celah peraturan demi meraih kekuasaan.
====
Penulis Alumni FISIP UDA Medan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]