Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Menteri Keuangan Sri Mulyani mewacanakan pajak buku 15% bagi penulis. Wacana tersebut langsung menuai prokontra. Penulis buku Tere Liye, misalnya, menyampaikan kekesalannya atas wacana pajak royalti 15% itu lewat media sosial.
Penulis buku Suhunan Situmorang mengatakan, bila pemerintah memang peduli dan memiliki komitmen yang tinggi pengembangan mutu manusia Indonesia, maka budaya literasi harus diutamakan. Antara lain dengan mendorong minat masyarakat (khususnya pelajar, mahasiswa) membaca dan menulis, mendukung dan menyemangati para penulis dan akademisi menulis dengan memberi apresiasi.
“Penulis artikel di media/jurnal mestinya pula dibebaskan dari PPh. Termasuk membuat pajak serendah mungkin pada penulis dan penerbit buku agar memberi stimulus bagi penulis dan penerbit,” kata Suhunan kepada medanbisnisdaily.com, di Medan, Jumat (15/9/2017).
Menurut penulis novel “Sordam” ini, kebijakan membebaskan pajak itu tidak akan merugikan negara, karena tujuannya untuk mengembangkan tradisi ilmiah dan intelek. Malah sebaliknya harusnya memberi subsidi dan tunjangan bagi penulis.
“Banyak kita tahu nasib para penulis, pengajar, akademisi dan peneliti yang memprihatinkan dan terlunta-lunta di masa tua. Kesulitan sekadar memenuhi keperluan primer dan biaya pengobatan bila sakit. Itulah realitanya,” kata Suhunan yang juga seorang pengacara ini.
Ia mengatakan, negara yang tak peduli nasib penulis, pengajar dan peneliti adalah negara yang masih terbelakang. Berat bersaing dng negara lain di bidang apapun.
Senada dengan Suhunan, penulis dari Toba Writes Forum, Riduan Pebriadi Situmorang juga menyoroti wacana royalti buku itu. Menurutnya, jumlah itu itu terlalu tinggi. Hal itu akan membebani dan membuat penulis malas menerbitkan buku. Ada kekeliruan persepsi pemerintah yang menyederhanakan bahwa modal menerbitkan buku itu soal berapa banyak kertas dan arus distribusi. Padahal, modal sesungguhnya jauh lebih banyak.
“Untuk membuat satu buku, paling tidak perlu waktu sampai bertahun,” kata Riduan.
Jika pemerintah berpihak kepada gerakan literasi, hendaknya pajak buku dikurangi. Itu salah satu cara mendongkrak literasi.
“Pajak buku rendah, harga rendah, pembaca pun tak kesusahan membeli buku,” katanya.
Selama ini, penulis buku di negeri ini lebih kepada kerja idealisme penulis. Tidak ada harapan untuk kaya, karena memang secara market hal itu sudah diatur.
Misalnya, dalam peraturan rata-rata penerbit, penulis hanya mendapat 10% royalti atas penjualan buku-bukunya. Bisa dibayangkan, sebagai yang menciptakan bahan dasar sebuah produk, seorang penulis hanya mendapat 1/10 atas karyanya itu. Kenyataan ini saja pun sudah keliru.
“Harusnya yang mendapat porsi lebih besar atas penjualan sebuah produk adalah kelompok produsen. Tetapi di negeri ini kelompok produsen justru mendapat bagian yang paling kecil,” terangnya.