Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Di dalam kehidupan Siraja Batak dahulu ilmu pengobatan telah ada, mulai sejak dari dalam kandungan sampai melahirkan. Misalnya perawatan dalam kandungan, perawatan setelah melahirkan, perawatan bagi dan perawatan dugu-dugu.
Setiap hari si ibu pasca melahirkan harus diberi makan dugu-dugu, yakni makanan yang diolah dari sayur bangun-bangun dengan daging ayam, kemiri dan kelapa. Makanan ini berfungsi untuk mengembalikan peredaran urat bagi si ibu, membersihkan darah kotor dan menambah serta memperlancar ASI. Belakangan makanan ini juga dianjurkan oleh dalam dunia medis modern sekarang ini.
Sedangkan untuk anak yang baru dilahirkan diberikan kemiri untuk membersihkan kotoran yang dibawa bayi dalam kandung. Sekaligus membersihkan pencernaan bayi dari kotoran pertama yang disebut tilan.
Ramuan selama perawatan bayi juga ada. Misalnya dengan mencampurkan daun sirih, kemiri jerango untuk kemudian dikunyah. Akan lebih baik dikunyah karena akan bercampur dengan ludah yang mengandung bakteri-bakteri baik yang bagus untuk kesehatan.
Ramuan itu lalu ditempelkan ke ubun-ubun bayi dan diolesi ke seluruh tubuh. Tujuannya adalah untuk menjaga kehangatan tubuh bayi dan menghindari masuk angin. Termasuk juga agar si bayi kelak tidak menderita sawan.
Masyarakat Batak Toba belajar pengobatan itu dari alam. Supranaturalis ini mencontohkan pembuatan dappol siburuk, yakni minyak urut untuk digunakan mengobati patah tulang dan semacamnya. Minyak ini terinsipirasi dari kisah burung si buruk.
Suatu waktu ada seorang petani yang mendapati anak burung si buruk terjatuh dari sarangnya. Kakinya patah. Petani itu menaruh burung itu kembali ke sarangnya. Tak berapa lama, induk burung itu datang dengan membawa dedaunan di paruhnya. Dedaunan itu diusap-usapkannya ke kaki anak burung itu.
“Karena penasaran, petani itu memanjat dan mendapati anak burung itu telah sembuh. Di kakinya masih tersisa daun-daun yang telah mengering. Daun-daun itu kemudian ia pelajari dan ia ramu menjadi obat urut,” kata Pengurus Kajian Metafisika dan Pengobatan Alternatif, Muhar Omtatok.
Sayangnya, pengetahuan itu tidak diturunkan kepada generasi selanjutnya. Beberapa di antaranya telah hilang. Terutama yang termasuk pengobatan kategori khusus. Seperti cara memanggil roh nenek moyang, cara memanggil orang yang hilang maupun cara berdialog dengan roh diri sendiri.
Memang masih ada satu dua yang paham. Namun kebanyakan dari tabib itu sering menipu berupa trik belaka. Hal itu jugalah yang memengaruhi persepsi masyarakat terhadap dunia pengobatan alternatif itu sendiri.
Faktor lain yang membuat seni pengobatan itu tergerus adalah karena pengetahuan itu hanya diwariskan kepada orang tertentu saja.
“Semua itu ditulis dalam aksara Batak Toba. Dan kadang dengan simbol-simbol. Jadi tak semua orang bisa membaca,” ungkapnya.
Logika Medis
Pengetahuan yang dimiliki masyarakat tradisi sering dipertentangkan oleh orang-orang yang tak memahami hal itu secara baik. Padahal tidak jarang kearifan itu masih sangat kontekstual digunakan.
Masyarakat Tiongkok, misalnya, masih tetap mempertahankan tradisi pengobatan yang ditinggalkan nenek moyang mereka hingga kini. Pengobatan tradisional masyarakat Tiongkok justru mendapat prestise dalam dunia medis.
Tidak demikian seni pengobatan masyarakat Batak Toba yang sering dipersoalkan bahkan oleh sebagian masyarakat Batak Toba itu sendiri. Itu terjadi karena kesalahpemahaman. Karenanya perlu ada upaya untuk melogiskan hal-hal yang dianggap klenik itu.
Ada satu cerita tentang itu yang pernah dialami misioner Nommensen dalam karya penginjilannya. Di suatu tempat, Nommensen menemukan masyarakat yang hidup menderita karena kolera dan diare. Masyarakat yang masih sangat permisif dengan pengetahuan dari luar itu, menolak tawaran Nommensen yang ingin menyembuhkan penyakit mereka.
Mulanya ia ditolak. Namun karena cerita-cerita tentang kehebatannya telah tersiar, masyarakat itu pun akhirnya bersedia ditolong.
Nommensen melakukan pendekatan budaya. Ia mulai meramu obat. Ia bermaksud mencampurkan garam ke dalam air.
Namun ada satu kendala, di tempat itu tidak ada air bersih. Ia pun berpikir bagaimana caranya mensterilkan air tersebut. Lalu ia melihat para dukun yang mengobati masyarakat dengan memberi mereka minum air yang dicampur jeruk purut dan daun sirih.
Naluri medisnya pun muncul. Daun sirih dan jeruk purut mempunyai kandungan zat yang mampu membunuh bakteri yang ada di dalam air. Sifat antseptic yang dimiliki daun sirih dapat mensterilkan air. Media-media itu juga ia gunakan dan tentu saja dengan mencampur sedikit garam ke dalam air.
Benar saja, setelah meminum ramuan itu, penyakit diare masyarakat mulai sembuh. Sedang untuk mengatasi kolera, ia mengajak masyarakat agar menerapkan budaya bersih. Yakni mandi dengan sabun.
Di masa itu masyarakat belum mengenal sabun. Sehingga benda itu juga dianggap memiliki kesaktian tertentu. Kedua penyakit itupun hilang. Padahal media yang digunakan pada dasarnya sama. Tinggal bagaimana pendekatan dan komunikasi yang disampaikan.