Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Center for Strategic Development Studies (CSDS) menyatakan kalau pemerintah pada tahun-tahun mendatang lebih disibukkan oleh mekanisme politik menjelang pemilu presiden dikhawatirkan target kinerja tahun 2019 tidak akan tercapai.
"Pemerintah akan lebih banyak melaksanakan aktivitas yang populis untuk membangun citra, sehingga tidak terlalu konsentrasi untuk mengerjakan tugas-tugas substansial," kata Direktur Eksekutif CSDS Dr Mulyanto, di Jakarta, Minggu (8/10).
Ia memberikan analisa itu terkait hasil evaluasi paruh waktu pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang baru saja dirilis Bappenas, akhir September 2017.
Mulyanto melihat hal itu mencerminkan niat positif untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pemerintahan.
"Itu merupakan inisiatif yang baik, sehingga masyarakat luas dapat mengetahui secara lebih objektif dan akurat tentang hasil dan kinerja pembangunan nasional," katanya.
Hanya saja, alumnus Tokyo Institute of Technology, Jepang itu menyatakan kekhawatirannya jika pemerintah lebih disibukkan oleh mekanisme politik menjelang Pilpres 2019, maka konsentrasi untuk mengerjakan tugas-tugas substansial menjadi menurun.
"Jika itu terjadi, maka dapat dipastikan target kinerja RPJMN tahun 2019 tidak akan tercapai," katanya menegaskan.
Sebagai perbandingan, ia merujuk pada evaluasi akhir tahun RPJMN 2010-2014 Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga mengalami hal serupa.
Pada saat itu, realisasi pembangunan nasional meleset, seperti angka kemiskinan tahun 2014 masih tinggi (10,96 persen). Padahal targetnya 8-10 persen.
Catatan kedua yang diungkap CSDS, yakni ada beberapa indikator penting tidak disajikan dalam laporan evaluasi paruh waktu itu.
"Paling tidak, ada empat indikator penting yang tidak terlihat, yakni Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Gini Ratio yang mengukur ketimpangan pembangunan, defisit anggaran, serta stok utang pemerintah terhadap PDB," katanya lagi.
Meski tidak ingin berprasangka, Mulyanto melihat terjadi penurunan dan kesulitan untuk mengendalikan indikator tersebut.
Angka IPM nasional tahun 2014 sekitar 73,8. Sedangkan data yang ada saat ini menurun menjadi 70,16.
Defisit anggaran terhadap PDB pada tahun 2010 sebesar minus 2,0 persen, sedangkan pada APBN-P tahun 2017 menurun tajam menjadi minus 2,92 persen.
"Angka itu sudah mendekati batas psikologis menurut Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar minus 3,0 persen. Begitu juga indikator stok utang pemerintah terhadap PDB yang terus meningkat menjadi 27,2 persen," katanya.
Pada tahun 2010 stok utang hanya 23,9 persen dari PDB. Stok utang pemerintah pada era SBY menurun tajam dari sebelumnya pernah mencapai lebih dari 60 persen.
Melihat capaian indikator pembangunan tersebut, Mulyanto mengongatkan pemerintah harus bekerja lebih keras dan fokus pada sektor yang berdampak luas.
"Hal itu, sejalan dengan pidato pelantikan Presiden Jokowi tahun 2014 silam, agar pemerintah tetap 'on the track'," demikian Mulyanto.(ant)