Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Perhatian masyarakat Indonesia belakangan ini tertuju pada “Jokowi Mantu”. Maklum selain yang menikah putri presiden, pernikahan itu juga unik.
Keunikan itu, pertama karena kedua mempelai berasal dari latarbelakang etinis yang berbeda. Putri Jokowi, Kahiyang Ayu berdarah Jawa, sedangkan Bobby suaminya berdarah Mandailing.
Keunikan kedua, karena kedua mempelai saling menghormati latarbelakang etnis masing-masing, di mana keduanya mau menjalani prosesi pernikahan sesuai dengan adat Jawa dan Mandailing. Termasuk Kahiyang yang sudi menerima dirinya sebagai bagian dari masyarakat Mandailing dengan menerima boru Siregar yang diberikan pihak suaminya.
Hal itu dilihat aktivis pluralisme dari Aliansi Sumut Bersatu (ASB), Veryanto Sitohang, sebagai sebuah pelajaran berharga dari pluralisme.
Pluralisme yang dibangun dalam sebuah keluarga. Meski berbeda etnis tidak menjadi penghalang bagi sepasang suami istri untuk membangun sebuah keluarga yang bahagia. Justru sebaliknya, dengan kondisi itu, sebuah keluarga akan semakin kaya dan lebih dapat memahami toleransi.
Ditambahkan Very, sebuah keluaga akan semakin “hidup” bila seluruh penghuni keluarga bisa menghargai perbedaan, katanya kepada medanbisnisdaily.com, Jumat (24/11/2017).
Keluarga adalah gerbang pertama dan utama dalam memaknai pluralisme. Dalam era kekinian semakin terbuka dalam setiap keluarga berbeda keyakinan, suku rasa dan identitas lainnya karena relasi sosial (perkawinan dll). Maka semua orang dalam keluarga sebaiknya menerima dan terbiasa berinteraksi.
“Dan perbedaan ritual atau hari-hari besar agama maupun adat budaya dan justru akan membuat keluarga semakin harmonis dan kuat karena sering berkumpul bersama,” tambahnya.
Menurut Very, saling menghormati sesama anggota keluarga, setara dan toleran adalah nilai yang penting dikembangkan. Sikap ini dapat menghempang pikiran diskriminatif yang akan menjurus pada rasis dan radikalisme.
Sikap toleran itu setidaknya dapat terimplementasi kala menghadiri acara besar keagamaan atau adat. Melalui interaksi seperti itu, maka setiap orang akan mengenal identitas orang lain kemudian secara perlahan kesadaran menghargai sesama akan semakin kuat. Bukankah karena kenal maka sayang?
Disinggung soal politik identitas yang biasa rentan menjelang pilkada, menurut Very, pluralisme adalah jawaban untuk mengatasi itu.
“Menurutku, penghormatan atas pluralisme adalah benteng terakhir menghempang politik identitas. Dan itu dimulai dari keluarga.
Pluralisme juga sebaiknya dimaknai menghormati pilihan politik setiap orang. Tentu dengan memperkuat nilai-nilai kebangsaan yang sebenarnya bisa dibicarakan dalam ruang-ruang keluarga.