Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan.Badannya gemetar menahan tangis tak tertahankan. Cintanya kandas ditinggal sang kekasih ke Jakarta. Klaten menjadi saksi prahara cinta tak kesampaian wanita pemalu. Panggung Malam Renungan Teater Sumatera Utara 2017, Taman Budaya Sumatra Utara, Medan, menjadi lebih spesial di malam penutupan, Minggu (31/12/2017).
Wanita itu tanpa nama. Berkali-kali menyebut nama Ahmad Karnaen, seorang pemuda tampan idaman banyak gadis yang mengungkapkan rasa cintanya. Namun dasar pemalu, dia tak kuasa mengungkapkan rasa cintanya kepada Karnaen walaupun perasaan cintanya meledak-ledak di dalam dadanya.
Dia pun tak punya daya menyembunyikan rasa senangnya ketika tangannya diciplup Karnaen yang dimabuk asmara. Di dalam kamar dia terus memandangi tangan yang dicium Karnaen. Dia malu menyampaikan perasaannya kepada Karnaen. Hanya kepada Tuti dia jujur. Tokoh wanita pemalu 'saya' ini bersaing dengan sahabatnya, Endang, yang menaruh hati kepada Karnaen.
Hinga sampai suatu ketika, Karnaen pergi meninggalkan Klaten, kota tempat 'saya', Karnaen, Endang dan Tuti menuji Jakarta. Karnaen meninggalkan Klaten dengan luka hati karena cintanya tak kesampaian.
Dalam puisi yang dibacakan sebagai latar suara oleh sutradara, Akbar Fahrizal, Karnaen pergi dan tak akan kembali ke Klaten. Hatinya terluka, namun tetap memendam cinta teramat dalam. "Untuk terakhir kali saya katakan, saya sangat mencintaimu. Saya tak membencimu. Tapi saya tak bisa memaafkanmu,".
Tubuhnya terjatuh dan tangannya menggapai-gapai dalam kekosongan. Mengetahui kekasihnya meninggalkannya karena salah paham dan memutuskan masuk menjadi laskar Heiho di Jakarta dan dikirimkan ke Burma lalu pulang dalam bentuk abu.
Di atas panggung, dalam tubuh yang lunglai, memukul-mukul dadanya. Suasana senyap menjadi tegang ketika alunan musik berhenti dan suara tangisnya mendominasi Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara, Minggu malam (31/12/2017). Bunyi degup jantung sayup-sayup.
"Saya ingin berlutut dan mencium kakinya tapi saya tak bisa. Saya merasa malu, saya merasa rindu dan remuk di dalam. Saya akan tetap menantinya. Entah kapan dia akan pulang. Saya akan tetap menantinya. Saya akan menunjukkan meski tak bisa mengatakan cinta kepadanya. Saya akan terus menantinya. Sebagaimana bumi yang hanya memiliki satu matahari. Maka hati saya hanya memiliki satu kekasih,".
Adegan tersebut merupakan penggalan naskah monolog Kenang-kenangan Wanita Pemalu, karya WS Rendra yang dimainkan Lab Theatre Cetra. Akbar Fahrizal, sang sutradara menyebut penampilannya dengan monotone, kolaborasi monolog dan tone.
Karenanya, di atas panggung, tokoh 'saya' yang diperankan Kasih Hasibuan tidak sendirian. Ada lima orang pemain musik yang mengiringinya. Peran tone atau musik tidak hanya mengiringi namun menambah bobot naskah yang bercerita kisah percintaan sederhana menjadi lebih 'menggigit'.
Kasih Hasibuan berhasil membius penonton dengan aktingnya yang prima. Hanya saja persoalan teknis sedikit mengganggu sehingga suara vokalnya tidak begitu terdengar dan di saat yang sama suara musik lebih dominan. Akting memukau Kasih membuat orang memaksa telinganya lebih tajam mendengar suaranya yang terdengar jelas bagi penonton di bangku terdepan.