Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Pendaftaran calon anggota legislatif oleh parpol ditutup sudah. Dari nama-nama bakal caleg yang sudah beredar di media, memberikan gambaran semakin menguatnya praktik politik dinasti sepanjang era reformasi, Publik benar-benar disuguhi praktik kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga.
"Seolah pertarungan politik akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak atau kerabat, sehingga kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga. Politik kekerabatan berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis ketimbang merit system dalam menimbang prestasi. Lewat jalur politik prosedural, anak atau keluarga para elit masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik," kata pengamat politik, Kristian Redison Simarmata dalam keterangan tertulisnya yang diterima medanbisnisdaily.com, Rabu (18/7/2018).
Direktur Eksekutif Perkumpulan Suluh Muda Indonesia ini mengatakan, patrimonialistik iterselubung oleh jalur prosedural. Situasi yang memungkinkan para pemimpin lokal memanfaatkan jabatan politiknya bahkan pengaruh yang dimiliki untuk mendorong lingkaran keluarga, termasuk anak dan istri terlibat dalam sistem pemerintahan.
Dengan maraknya praktik politik dinasti ini, paparnya, akan membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, di mana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga, dan berakibat pada tidak terealisasikan tugas dan fungsi jabatan karena pemimpin atau pejabat tidak mempunyai kapasitas dan kapabilitas dalam menjalankan tugas.
"Walaupun kita sadar bahwa dalam demokrasi semua warga negara memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka, yang mana masing-masing warga negara memiliki hak yang seimbang dan setara terkait penentuan dan pemilihan sebuah pilihan yang nantinya akan membawa dampak pada kehidupan warga negara," uajr Kristian.
Menurutnya, praktik politik kekerabatan atau lazim disebut dengan politik dinasti ini sebenarnya sangat berpotensi menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Praktek politik seperti ini jelas sangat bertentangan dengan budaya dan substansi demokrasi yang sedang bertumbuh sebagai media manisfestasi keadilan sosial dan peradaban.
"Pperkembangan praktek demokrasi seperti ini bahkan memiliki kecenderungan justru akan mengebiri demokrasi itu sendiri. Sebab sistem politik kekerabatan ini condong akan mengabaikan kompetensi dan rekam jejak dalam pengajuan calon. Masyarakat akan dipaksa menentukan pilihan dengan calon yang mungkin tidak memiliki kompetensi dan rekam jejak dalam memahami persoalan masyarakat, bahkan mungkin memahami tugas dan fungsi jabatan yang diajukan," paparnya.
Kata Kristian, dengan dibingkai demokrasi, maka praktek ini adalah sesuatu yang sah secara prosedural dan masyarakatpun diberikan kebebasan dalam menentukan calon yang diajukan. Padahal jika diamati secara seksama, sebenarnya masyarakat tidak memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan. Dengan praktik politik kekerabatan ini, ke depannya jelas akan sangat menggangu proses check and balances antar lembaga pemerintahan, legislatif yang berfungsi sebagai lembaga kontrol atau pengawasan dapat dipastikan tidak akan bisa bekerja maksimal jika sejumlah keluarga besar berada pada posisi yang diawasi dan mengawasi.
"Padahal, salah satu substansi dalam demokrasi adalah berjalannya fungsi kontrol antar lembaga. Jika pengawasan sudah tidak berjalan, maka agenda pemberatasan korupsi, kolusi dan nepotisme, adalah sebuah hal yang mustahil untuk dilakukan. Atau memang kita sudah terlalu nyaman dengan budaya KKN yang tidak kunjung dapat dihilangkan itu," tutup Kristian.