Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Hari Guru Nasional yang beberapa waktu lalu diperingati sebagai bentuk ucapan 'terima kasih' dan apresiasi istimewa atas jasa dan pengabdian yang diberikan guru selama ini. Meski begitu masih ada saja kesulitan-kesulitan yang dihadapi para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut, seperti soal alat peraga.
Diceritakan oleh dua orang guru asal Papua dan Sumatera Barat, yakni Willem Parkai dan Vivi Wirni. Mereka bercerita kesulitan yang dihadapi saat mengajar.
Willem Parkai adalah Kepala Sekolah SD YPK Ambumi, Kab. Teluk Wondama, Papua Barat. Selain menjabat sebagai kepala sekolah, ia juga turut mengajar siswa dengan pelajaran olahraga.
Dia mengaku mengajar pelajaran olahraga tidaklah mudah. Minimnya alat peraga jadi tantangan bagi Willem untuk memperagakan olahraga tertentu. Di sekolahnya hanya ada 2 buah bola voli dan sebuah tolak peluru. Tapi ia rupanya tak kehabisan akal. Berbagai benda di sekitarnya ia gunakan sebagai pengganti alat peraga.
"Saya pakai alat-alat olahraga yang sederhana saja, contoh seperti lempar lembing saya suruh anak-anak potong bambu kecil atau kayu yang lurus. Kita ajari mereka bagaimana mereka melakukan lempar lembing. Tolak peluru itu saya suruh 'ayo anak-anak kita bawa batu di kali, bagaimana mereka pegang batunya," kata Willem kepada detikcom, Selasa (27/11/2018).
Ia juga mengaku seringkali menggunakan kasur miliknya sebagai matras. Kasur itu digunakan untuk mengajari siswa senam lantai. Meski begitu anak-anak tetap dikenalkan pada alat peraga sesungguhnya lewat gambar di buku pelajaran.
Selain berurusan dengan penunjang mengajar, Willem juga kerap terkendala oleh kebiasaan anak didiknya. Agar tak ditinggal para siswa ia sendiri yang harus memberi contoh datang tepat waktu ke sekolah. Kalau telat, para siswa akan meninggalkannya ke hutan.
"Saya harus disiplin, tidak boleh lambat ke sekolah supaya anak-anak lihat kita ketika di kelas. Kalau tidak mereka pergi ke luar, kemudian jemput orang tua ke hutan. Makanya saya harus cepat bangun dan ke sekolah," ungkapnya.
Masalah keterbatasan alat peraga juga dirasakan Vivi Wirni, guru SMA Negeri 1 Siberut Utara, kab. Mentawai, Sumatera Barat. Vivi mengatakan terkendala pengadaan alat praktikum kimia.
Saat mengajar pelajaran kimia, khususnya mengenai asam dan basa, ia terkendala dengan kertas lakmus yang cukup mahal. Untuk menyiasatinya ia harus memotong-motong kertas tersebut agar lebih hemat.
"Untuk keuangan harus berpandai-pandai. Paling sering saya keluar uang dari kantong pribadi dulu walaupun nanti dibayar ya untuk beli kertas lakmus. Yang paling panas kuping saya itu kalau satu stripnya itu saya bagi lima kan kecil-kecil ya biar irit, (oleh siswa) ibu pelit sekali sih bu kecil-kecil gini. Sakit hati saya," kata Vivi.
Atas keterbatasan tersebut, ia kemudian menciptakan inovasi pengganti kertas lakmus. Sebagai guru kimia, Vivi memahami bahwa bahan alami yang memiliki warna mencolok bisa menjadi indikator untuk membedakan senyawa asam dan basa.
"Saya ingin menciptakan pembelajaran dengan alat yang amat sederhana yang ada, tapi saya bisa ciptakan sesuatu. Jadi karya saya itu buat kertas lakmus dari bunga kembang sepatu, kertasnya yang saya bikin, karena (memanfaatkan) warna kembang sepatu itu mencolok," jelasnya.
Untuk membuat pengganti kertas lakmus, Vivi menumbuk kembang sepatu kemudian dia oleskan ke media kertas. Setelah dikeringkan, kertas tersebut digunting sesuai ukuran dan digunakan untuk praktek di kelas.
Selain membuat hal kreatif, dia juga kerap membuat suasana lebih atraktif. Vivi mengaku suka memberikan kuis berhadiah kepada siswanya. Hadiahnya pun sederhana, salah satunya pulpen yang didapat dari hotel. Ada juga hadiah hiburan lainnya dengan tujuan memberi perhatian bagi para siswa. dtc