Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Sejak 6 tahun yang lalu Yulianti Nainggolan bertanam kopi arabika sigararutang di desanya di Desa Salaon Tonga-tonga, Kecamatan Ronggur Nihuta, Kabupaten Samosir, Sumatra Utara. Dia mengikuti sebagian besar petani lain yang meninggalkan robusta karena lebih sulit pengolahannya. Bersama petani lainnya dia mulai mencoba pola organik. Desa Salaon Tonga-tonga sejak dulu menjadi salah satu daerah penghasil kopi.
Kepada medanbisnisdaily.com dia berbagi pengalamannya bertanam komoditas perkebunan unggulan di sela-sela pertemuan tentang gender yang digelar Yayasan Bitra Indonesia, di Hotel Antares, Medan, Rabu (28/11/2018).
Dia sendiri memiliki lahan seluas 1 hektare yang ditanami 1.000 batang kopi. Dia juga menanami pisang sebagai tanaman pelindungnya. Dalam setahun dua kali dia memanen, yakni di bulan Februari dan Oktober. Pada panen pertama tahun ini dia dua kali mengutip. Setiap pengutipan dia mendapat 20 kaleng (12 Kg).
Bulan Oktober kemarin jumlah panennya berkurang. Biarpun begitu jika dibandingkan tahun lalu yang terjadi kemarau panjang, panen tahun ini lebih baik.
Hasil panennya dijual dalam bentuk green bean. Berbeda dengan petani lain yang menjual dalam hitungan liter, dia menjual dalam hitungan kilogram. Hitungan liter biasanya dilakukan petani yang menjualnya per kaleng yang dihargai Rp 250.000. Petani yang menjual dalam hitungan per kaleng umumnya karena memiliki pinjaman kepada tengkulak.
Dia mengaku tidak memiliki pinjaman ke toke, sehingga bisa menjualnya per kilogram. Dia tidak memilih siapa pembelinya. Siapapun yang datang dengan harga tinggi dia akan melepasnya. Beberapa waktu lalu dia menjual Rp 27.000/Kg.
Menurutnya, petani sekarang sudah mulai belajar sejak adanya Sekolah Lapang yang digelar oleh Yayasan Bitra Indonesia. Petani diajari mulai dari teknik budidaya hingga pasca panen. Petani tidak lagi sembarangan dalam merawat tanamannya. Pemupukan pun harus dilakukan dengan standar dan prosedur yang benar. Begitu halnya dengan pemangkasan daun dan rantingnya dilakukan secara tepat.
Tak hanya itu, dalam pengolahan pasca panen, kopi yang sudah dikupas kulit cherry-nya, tidak boleh dijemur di atas tanah, melainkan harus menggunakan media lain. Jika tidak dilakukan, maka kualitas kopi akan berkurang.
"Bertani organik atau selaras alam ini perlu dan penting untuk pertanaman, supaya tanah tak rusak, tanamannya juga bagus," katanya.
Dia mencontohkan, beberapa waktu lalu hasil panennya kurang memuaskan. Ada beberapa batang tanaman yang buahnya rusak. Di kulit luarnya tidak menunjukkan kejanggalan, namun buah di dalam busuk. Ada juga yang mengalami gugur daun. Menurut rekan petani lainnya, itu disebabkan pemupukan yang tidak benar. "Katanya kebanyakan pupuk atau round up. Jadinya tak menghasilkan ," katanya.
Dia menekankan, dengan adanya sekolah lapang banyak petani yang mulai paham mengolah tanaman kopinya. Bertanam secara organik atau selaras alam lebih baik.
"Bersahabat dengan alam itu lebih baik. Tak ada lagi penyemprotan kimia. Pemupukan pun tak lagi asal-asalan. Sesuai kebutuhan saja," katanya.
Mengenai jenis kopi yang ditanam, saat ini sudah banyak yang mengganti robusta menjadi arabika dengan alasan pengolahan robusta lebih rumit. Alasan lainnya, menjual arabika lebih mudah daripada robusta. Namun demikian , dia sendiri lebih menyukai robusta daripada arabika. Karena sepengetahuannya arabika untuk mercon dan tak bisa diminum.
"Jadi masih takut minum arabika. Walaupun katanya banyak orang suka minum arabika dan katanya rasanya lebih enak, saya masih lebih suka minum robusta. Robusta itu kan bisa disimpan lama dan lebih wangi. Tahunya saya arabika memang tak bisa diminum. Orang dari dulu bilang itu ke kami. Kalau saya kan tanam, panen terus jual," katanya.