Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Desa Cimbang, Kecamatan Payung, Kapubaten Tanah Karo, Sumatra Utara merupakan salah satu desa penghasil kopi. Petani mulai bangkit mengembangkannya kembali pasca erupsi Gunung Sinabung.
Ridawati br Ginting, seorang petani kopi arabika sigararutang di Desa Cimbang mengatakan, pertanaman kopi di desanya dimulai sejak tahun 1980-an, setelah pertanaman vanili tergilas habis diserang busuk batang. Pertanaman kopi di desanya saat ini bersebelahan dengan tanaman jeruk yang diserang lalat buah.
Kopi menjadi pilihan karena dianggap lebih tahan terhadap serangan lalat buah. Di desanya, sudah ada Kelompok Tani Cimbang Sinabung yang mengelola lahan seluas 22,5 hektare, yang 80% di antaranya ditanami kopi.
Dia sendiri sebenarnya memiliki lahan 4.000 meter2 namun karena tidak merata, hanya 400 batang saja yang ditanamnya. Dalam setahun, dia dua kali panen, yakni di bulan April - Juni dan September - Oktober.
Pada musim panen awal tahun, dari lahannya menghasilkan 300 kg saja. Pada musim panen kedua, dia tidak mengingatnya. Namun dia merasa beruntung karena dihargai Rp 27.000/kg dalam bentuk green bean.
Dijelaskannya, pasca erupsi Gunung Sinabung, petani kopi mendapatkan binaan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk bisa mengelola tanaman kopi hingga pasca panen. Petani juga diberi pengetahuan memproses kopinya sendiri menjadi bubuk dengan proses lebih maju seperti semi wash process, natural process, maupun honey process.
Menurutnya, ada perbedaan antara sebelum erupsi dan setelah erupsi. Dicontohkannya, pada musim panen pengutipan bisa dilakukan hingga 6 kali. Pengutipan kelima adalah puncak dengan hasil tertinggi dan menurun pada pengutipan ke 6. Kali ini hanya sampai 4 kali saja. Di pengutipan kelima sudah menurun.
"Jumlahnya beda, mungkin karena erupsi atau iklim ya," kata Ridawati kepada medanbisnisdaily.com, Kamis (29/11/2018), di sela-sela diskusi tentang gender yang digelar Yayasan Bitra Indonesia, di Hotel Antares, Medan.
Penurunan hasil panen, menurutnya, kemungkinan karena bibit yang ditanam tidak bersertifikat dan asalan. Misalnya mengambil dari pohon yang sudah tua dan dianggap baik masih berproduksi maksimal. Begitu halnya dengan teknis pengolahan tanahnya. Petani hanya mencangkul dan tidak mengetahui kedalaman yang baik untuk penanaman.
"Kalau nanam ya tanah kami cangkul lalu berapa kedalamannya, kalau menurut kami pas kami tanam. Padahal kan ada ketentuannya," katanya.
Setelah adanya Sekolah Lapang yang dibuat oleh Yayasan Bitra Indonesia, petani mulai mengerti pengelolaan tanah dan tanaman yang baik serta pengolahan pasca panen. Jika biasanya hasil panen setelah dikupas kulit cherry-nya, kopi dijemur di lantai, kini tidak lagi dilakukan. Kopi tersebut dijemur menggunakan media selama 1 jam langsung diangkat untuk mendapatkan kadar air 32%.
"Pemupukannya pun tak bisa sembarangan lagi lah. Kita sudah mulai secara organik. Kita juga tanam tanaman pelindung, lamtoro. Tak bisa dengan tanaman buah karena ada tanaman jeruk yang banyak serangan lalat buah," katanya.
Menurutnya, kopi cimbang memiliki cita rasa berbeda dari kopi Sumatra lainnya. Dia bersama dengan petani kopi lainnya berproses untuk memperbaiki pola pertanaman dan pengelolaan untuk mendapatkan kualitas yang baik. Jika kualitas kopi baik, menurutnya, harganya pun akan menjadi baik. "Memang masih ada lah petani yang menjualnya ke tengkulak karena mau cepat," katanya.
Menurutnya, jika kopi cimbang bangkit, menurutnya, akan banyak yang mendapatkan kebaikan. Kabupaten Karo dan Sumatra Utara juga akan mendapatkan nama baik.
"Bangkit kopi Karo, bangkit semuanya. Bahkan juga provinsi dan negara. Banyak cara yang kami lakukan. Banyak kegiatan kami ikuti untuk memperkenalkan kopi cimbang. Setiap ada undangan kami manfaatkan untuk meningkatkan pamor kopi cimbang," katanya.