Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Perang Batak melawan kolonial Belanda yang dipimpin Sisingamangaraja XII, dalam catatan sejarah Indonesia disebut-sebut salah satu perang terlama dan paling menyulitkan Belanda. Perang yang dimulai pada 1878 itu tidak berhenti sampai Sisingamangaraja XII tewas pada 1907, namun juga tetap berlanjut beberapa tahun kemudian oleh para pengikut setianya. Model perang yang dilancarkan Sisingamangaraja XII itu pun beragam. Mulai dari perang frontal, gerilya, adu strategi sampai diplomasi
Satu sikap yang patut diteladani dari Patuan Bosar, nama asli Sisingamangaraja XII itu adalah prinsipnya yang tidak mau tunduk kepada Belanda sampai darah terakhir.
Demikian salah satu poin dalam diskusi "Pulas: Menggali Nilai-nilai Kepahlawanan Sisingamangaraja XII", di Literacy Coffee, Jalan Jati II, No 1, Teladan Timur, Kota Medan, Sabtu malam (16/2/2019). Diskusi itu digelar untuk mengenang 141 tahun pernyataan "Pulas", yang menandakan dimulainya perang Batak terhadap Belanda pada 16 Februari 1878.
Diskusi menghadirkan 4 narasumber, yakni Raja Julio Sinambela (cicit Sisingamangaraja XII) Wilson Silaen dan John Robert Simanjuntak (dari Forum Sisingamangaraja XII) dan Bapak Bakkara, perwakilan Parbaringin (komunitas penghayat aliran kepercayaan, pengikut setia dinasti Sisingamangaraja). Diskusi dimoderatori Karmel Simatupang.
Bapak Bakkara yang telah berusia 81 tahun, mengatakan, ajaran Sisingamangaraja yang mereka anut hingga saat ini mengedepankan cinta kasih, menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, cinta tanah kelahiran, kesederhanaan dan menolak kerakusan. Karena itu, tutur Bakkara, perang Batak yang dipimpin Sisingamangaraja XII melawan Belanda adalah perang melawan kerakusan.
"Raja Sisingamangaraja, khususnya Sisingamangaraja XII, menolak Belanda yang mau menguasai tanah Batak. Menurutnya itu adalah kerakusan yang harus dilawan," katanya.
Pembicara lain, Wilson Silaen menjelaskan, sebelum Sisingamangaraja XII mengumumkan "Pulas", yakni pernyataan tertulis Sisingamangaraja XII ke Belanda yang menyatakan perang, terlebih dulu digelar Horja Bius, yakni musyawarah yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat, penetua kampung dari kampung di delapan penjuru mata angin (desa nawaluh) dan juga utusan dari Aceh dan Melayu Langkat. Horja Bius digelar di lapangan di Bakkara. Saatlah ia mendengar masukan dari masyarakat dan pada akhirnya mengambil keputusan sesuai yang disepakati bersama.
"Meski dinasti Sisingamangaraja diakui sebagai pemimpin, tapi dinasti itu tidak punya otoritas kerajaan sebagaimana raja lain, khususnya di Jawa. Itulah yang membuat Belanda bingung. Dia dihormati rakyatnya tapi tidak punya kekuasaan yang sifatnya material," terang Wilson.
Maka ketika Belanda mulai kewalahan, lanjut Wilson, beberapa kali Belanda mencoba membujuk Sisingamangaraja XII dengan memberikan kekuasaan atas tanah dan wewenang untuk memimpin wilayah itu. Terakhir melalui bantuan delegasi Nommensen, Belanda menawarinya hak memerintah dari Siak sampai perbatasan Aceh, namun hal itu ditolaknya mentah-mentah.
"Sisingamangaraja XII mengatakan, ia bukan menginginkan kekuasaan, namun hanya bermaksud menjaga tanah leluhur dari kerakusan Belanda," kata Wilson.
Pembicara lainnya John Robert Simanjuntak menimpali, karena sikap, pengetahuan dan nilai-nilai yang ia ajarkan. Sisingamangaraja XII rutin mengunjungi perkampungan dan bila ia melihat ada orang yang terpasung, ia akan membebaskannya. Ia juga menebus orang-orang yang dijadikan budak.
"Dia itu seorang raja yang juga imam, tokoh adat sekaligus tempat orang-orang bertanya tentang banyak hal. Ia anti penindasan, anti kerakusan," katanya.
Nilai-nilai seperti inilah yang hilang dari orang Batak saat ini. Apalagi belakangan ini mencuat kasus-kasus perusakan Danau Toba yang dasarnya adalah kerakusan.
Raja Julio Sinambela tak banyak bicara dalam diskusi itu. Ia mengatakan, sebagai orang muda saat ini dia masih dalam tahap belajar dari apa yang dicontohkan orang-orang hebat di masa lalu.