Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Sejarah Batak sarat konspirasi dan kepentingan etnik, sehingga sulit untuk mencari titik temunya dan bahkan rawan dibicarakan. Termasuk dengan sejarah marga-marga.
Demikian dikatakan Halomoan Tobing, salah seorang peserta diskusi tentang Sisingamangaraja yang digelar Forum Diskusi Terbatas (Forditas), di Balai Arkeologi (Balar) Sumatra Utara (Sumut), Jalan Seroja Raya, Gang Arkeologi, No 1, Tanjung Selamat, Medan Tuntungan, Kota Medan, Selasa sore (26/2/2019).
"Banyak versi tentang Sisingamangaraja. Bahkan ada versi yang dari Minangkabau. Balai Arkeologi Sumut harus punya nomenklatur untuk menyamakan pandangan, sehingga bisa diterima nalar, bukan sekadar intuisi," kata anggota Forum Pelestarian Budaya Sumatra Utara ini.
Terkait sosok Sisingamangaraja, Tobing mengaku sulit untuk membicarakannya karena minimnya refrensi. Ditambah lagi, sumber keilmuan tentang Si Raja Batak sebagai tokoh sentral sejarah Batak, hampir tidak ada.
"Harus ada lokalisir tentang pemahaman masyarakat mengenai Sisingamangaraja di seluruh penjuru tanah Batak," ujarnya.
Menanggapi hal itu, Kepala Balar Sumut, Ketut Wiradnyana, mengatakan, baginya tidak masalah semua pengetahuan dan pemahaman tentang Sisingamangaraja diungkapkan. Sebagai sebuah diskusi hal itu sah adanya.
"Biarkan saja pengetahuan itu bergerak sendiri. Bicara kebenaran juga tidak mudah dalam sejarah," akunya.
Ketut menduga, tokoh Sisingamangaraja memang sengaja dimunculkan kelompok masyarakat Toba (Balige-Tobasa) untuk mengimbangi dominasi kultural masyarakat Samosir di Bakkara. Mengingat pada masa itu (abad 15-16) peran lembaga bius (federasi kampung) sudah begitu kuat di tanah Batak, terutama oleh masyarakat Samosir.
"Mungkin menciptakan sosok merupakan pilihan paling tepat kala itu," kata Ketut.