Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Langkat. Kalangan petani tambak udang vanami di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara secara perlahan terancam bangkrut/gulung tikar. Ini akibat faktor harga penjualan produksi yang terus merosot dan tidak kunjung naik. Ditambah lagi naiknya harga benur udang vanami dan pakan udang non pabrikan yang dipalsukan.
Menurut kalangan petambak vanami, harga jual udang tidak seperti ditahun 2015 dan 2016 silam. Kala itu, harga jual vanami ditingkat petani tambak masih Rp 65.000/kg untuk size 100/kg. Kemudian berganti tahun, harga vanami berangsur turun, hingga mencapai Rp 42.000/kg pada saat ini, dan belum ada tanda - tanda akan naiknya harga penjualan vanami petani tambak.
Sedangkan harga benur udang vanami naik dari Rp 42 menjadi Rp 45/ ekor.
"Pakan pabrikan juga berpacu naik, petambak tidak lagi menggunakan pakan buatan pabrik, karena mahal, mencapai Rp 17.000-an lebih/kg. Petambak terpaksa membeli abu kepala teri/ikan teri yang hancur. Tetapi memang nasib petambak yang tidak diuntungkan, pakan dari ikan teri juga telah dipalsukan dengan ikan kering/ikan asin yang dihancurkan/digiling, sehingga pertumbuhan udang terhambat, produksinya tidak sesuai target", sebut Paidi Cokeng, Sutrisno dan Marno, petambak udang vanami di dusun Kelantan Desa Pasar Rawa, Kecamatan Gebang, Langkat, Minggu (16/6/2019).
Disebutkan mereka, ikan teri yang hancur dan kepala teri yang merupakan limbah dari sisa penjualan di pasar, dijadikan kalangan petambak vanami untuk pakan udang. Karena kandungan nutrisi dan gizi pada ikan super kecil itu dapat memicu pertumbuhan vanami didalam tambak budidaya pembesaran.
Sehingga limbah ikan teri jenis kim swa, kim swa buntiau inipun laku, dari harga semula Rp 3.500 hingga berpacu naik menjadi Rp 8.000/kg. Limbah ikan teri ini dahulunya hanya untuk pakan ternak babi, itik dan campuran pupuk untuk kompos tanaman jeruk manis.
"Karena larisnya abu/kepala ikan teri, penyuplainya mencampur dengan ikan kering yang dihancurkan oleh mesin. Sehingga kandungan gizi dan nutrisinya berkurang, mengakibatkan pertumbuhan udang terkendalan, udang bantut tak mau besar hingga massa panen tiba, harga jualpun tidak bisa menutupi operasional budidaya, inilah kebangkrutan petambak secara perlahan", sebutnya.
Bertahannya harga Rp 42.000/kg vanami size 100 itu juga dirasakan pahit kalangan petambak di Kecamatan Babalan, dan Kecamatan Besitang, Langkat.
"Harga Rp 42.000 ini mulai 5 April 2019 lalu setelah merosot dari harga Rp 47.000/kg, padahal harga pakan begitu mahal. Paling memilukan petambak, tingkat keberhasilan untuk panen sangat relatif, karena udang yang dipelihara rentan terserang penyakit dan menyebabkan kematian, sehingga terjadi panen dini", sebut Sumari dan kalangan petambak di Babalan.
Dijelaskannya, petambak seperti di Kecamatan Babalan, Secanggng, Gebang, Besitang dan Kecamatan Pangkalan Susu, mengaku, keberhasilan mereka sangat berkurang akibat harga udang yang murah. Bahkan, selain faktor penyakit, jumlah benur udang yang dipasok supliyer kepetani tambak tidak pas jumlahnya dalam setiap packing.
Artinya, jumlah udang dalam packing 3.000 ekor, ternyata hanya 2.700-an bahkan 2.500-an ekor. Ditopang lagi harga benur/bibit udang yang juga naik, yakni Rp 45/ekor, dari harga sebelumnya Rp 42/ekor.