Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Karawang - Tradisi Kalagumarang atau membasmi tikus setiap masuk musim tanam hingga kini masih dilestarikan oleh sebagian petani di Karawang, Jawa Barat. Tradisi membasmi tikus tanpa bahan kimia itu dinilai ramah lingkungan, sekaligus bermanfaat memelihara gotong royong para petani.
Seperti yang dilakukan 30 petani di Desa Ciranggon, Kecamatan Majalaya, Karawang pada Minggu (7/7/2019). Mereka bahu membahu mengepung sarang tikus di pematang sawah yang bersebelahan dengan dinding pabrik.
Para petani berderet sambil memegang tongkat kayu seukuran satu meter. Mereka bersiaga mengintai lubang-lubang tikus. Ketika air dari selang disemprotkan ke dalam lubang, tikus - tikus keluar dari lubang.
Dengan gesit, para petani menghantamkan tongkat kayu mereka. Saat berburu tikus itu, lumpur dan air terciprat ke sana kemari. Tak sedikit wajah para petani kena cipratan lumpur. Meski banyak terdengar sumpah serapah, para petani melakukannya dengan ceria dan berakhir dengan tawa.
"Sebisamungkin kami hindari membasmi tikus menggunakan racun, bom asap atau jebakan setrum," kata Maman Suparman (63) petani asal Ciranggon kepada detikcom.
Menurut Maman, Kalagumarang kembali dilestarikan lantaran cara membasmi tikus menggunakan bom asap atau jebakan setrum sangat berbahaya. "Dulu pernah pakai setrum, tiran, bahkan bensin. Tapi berisiko dan berdampak buruk pada padi," kata Maman.
"Memang pakai racun, atau jebakan setrum, atau tiran lebih efektif, tapi tak ada nilai gotong royong di situ," kata Maman.
Tiran adalah semacam peledak yang harus disulut menggunakan korek api. Berbahan bakar karbit, tiran biasanya mengeluarkan asap saat ditanam di lubang tikus. "Tikus-tikus biasanya mabok karena sarangnya penuh asap," tutur dia.
Namun penggunaan tiran tak lagi populer. Serangkaian insiden pernah dialami petani saat membasmi tikus menggunakan tiran. "Pernah ada yang tangannya berdarah karena tiran yang meledak. Sejak itu, tiran dijauhi petani," tutur Maman.
Hama tikus memang menjadi mimpi buruk petani di Ciranggon. Pada tahun 2017, petani wilayah Desa Ciranggon sempat rugi besar. "Kira-kira 50 hektar sawah gagal tanam akibat hama tikus. Banyak yang rugi hingga puluhan juta rupiah," kata Asep Nace, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Ciranggon, Kecamatan Majalaya.
Saat itu, kenang Asep, Satu hektare sawah mereka hanya berproduksi 4 kuintal hingga 1 ton gabah. "Padahal kalau normal itu bisa 4 sampai 6 ton. Kalau tahun 2018, hama tikus kurang, tetapi harga gabah anjlok," katanya.
Di musim kemarau ini, para petani kembali mewaspadai berkembangnya hama tikus. Alhasil, kalagumarang bakal dilakukan sesering mungkin. "Sebab pada musim kemarau ini, hama tikus kian berkembang," tutur dia. dtc