Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Kisaran. Bunut sempat menjadi ikonik kebanggaan Kabupaten Asahan di era tahun 70 an lewat produksi tapak sepatu dan sandal berbahan baku karet. Ketika itu hasil alam karet di Bumi Rambate Rata Raya melimpah dan nyaris memonopoli pasar dunia. Sekarang, Bunut nyaris meninggalkan nama besar. Pengrajinnya kini tak banyak.
Meski demikian, jejak kejayaan Bunut sampai hari ini masih hadir. Beberapa pengrajin yang bertahan rata-rata meneruskan tradisi usaha temurun dari orang tua mereka. Jika kita berkendara dari arah kota Medan menuju Kisaran ibukota kabupaten Asahan, maka akan tampak beberapa toko sepatu berlabel ‘Bunut’. Lokasinya strategis, masih di pinggir Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Kelurahan Bunut Kecamatan Kisaran Barat.
Salah satu pengrajin yang masih bertahan adalah adalah Tomo (60). Dia berkisah, bisnis keluarga yang diteruskannya ini bermula ketika di masanya Bunut memiliki pabrik pembuatan tapak sepatu pada akhir tahun 60 an hingga 70 an.
Saat itu, hasil bumi di Asahan dikenal sebagai salah satu penghasil karet terbaik di dunia. Sebuah pabrik percetakan tapak sepatu yang dimodali oleh investor asal Amerika mempekerjakan ratusan pemuda - pemudi setempat dari sebuah kampung kecil di Asahan bernama Bunut. Konon hasil cetakan tapak karet sepatu ini kemudian diberi nama Bunut.
Bunut berada di kejayaannya pada tahun 1970 - an. Bersamaan dengan itu lebih dulu hadir pabrik pengolahan hasil perkebunan karet Uni Royal yang kini dikenal sebagai PT Bakrie Sumatera Plantation (BSP).
“Banyak anak anak kampung dari Bunut yang kerja disana. Tapi kalau saya tak silap, pabrik itu tutup tahun 1976 akhirnya anak anak kampung ini tak mendapat penghasilan lagi karena pabrik tutup,” katanya.
Namun kondisi itu tak membuat mereka patah semangat. Berbekal kemampuan bekerja di pabrik, anak anak kampung Bunut kemudian berupaya mandiri dengan membuat cetakan tapak sepatu sendiri dari industry rumahan masing masing. Sementara itu, untuk bahan kulitnya mereka beli dari daerah lain.
"Masyarakat sekitar memulai lagi usaha itu tapi dibuka dari rumah ke rumah dan menjualnya sendiri dengan label Bunut Shoes, itu dimulai ramai kalau tak salah saya sekitar tahun 1987" tambah Tomo.
Kini para pengrajin sepatu Bunut Shoes yang sejak tahun 1987 ini ramai berjejer di sepanjang jalan Ahmad Yani kelurahan Bunut ini terus mencoba mempertahankan sejarah nama besar mereka. Aneka sepatu dan sandal dengan kualitas tapak nomor wahid ini dibanderol antara Rp 200 sampai 400 ribu rupiah untuk satu pasangnya.
"Cukup banyak pelanggan yang meminati sepatu kulit Bunut ini. Bahkan ada yang membawanya dari luar kota seperti Pekan Baru mereka membelinya untuk di jual kembali " ujarnya. (*)