Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Setiap tanggal 24 Mei diperingati sebagai Hari Skizofrenia Sedunia (World Schizophrenia Day). Tujuannya adalah, agar masyarakat bisa mendapat informasi yang benar tentang skizofrenia, memahami gejalanya dan segera membawa keluarga atau teman bila ada yang mengalaminya.
Departemen Psikiatri FK USU, Dr dr Elmeida Effendy, MKed, SpKJ (K) menyampaikan, istilah skizofrenia ini masih belum begitu populer di kalangan masyarakat Indonesia. Skizofrenia merupakan gangguan psikiatrik berat yang membawa dampak bukan hanya pada individu yang terkena, namun juga terhadap keluarga dan masyarakat luas.
"Dan hal ini akan berpengaruh terhadap beban yang harus dikeluarkan oleh negara. Gejala klinis yang dialami orang dengan skizofrenia (ODS) bervariasi, secara umum mencakup gangguan pada proses pikir, alam perasaan, tingkah laku, persepsi dan kognitif," ungkapnya kepada wartawan, Kamis (4/6/2020).
Manifestasi gangguan ini jelas Elmeida, bervariasi tapi efeknya selalu berlangsung lama dan berat. Gangguan ini biasanya dimulai sebelum usia 25 tahun, dapat mengenai siapa saja dari kelompok sosial ekonomi manapun.
"Tidak ada gejala dan tanda klinis yang spesifik untuk skizofrenia, setiap gejala atau tanda yang terlihat pada ODS juga bisa ditemukan pada gangguan neurologik dan psikiatrik lainnya. Gejala-gejala yang dialami ODS dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu," jelasnya.
Elmeida menerangkan, misalnya ODS, mungkin mengalami halusinasi intermiten atau kemampuan yang bervariasi dalam menghadapi situasi sosial secara adekuat, atau gejala-gejala gangguan mood yang bermakna dapat datang dan pergi selama perjalanan skizofrenia. Gejala yang paling sering dijumpai adalah timbulnya waham, yaitu berupa suatu keyakinan yang salah, dan tidak dapat dikoreksi dengan alasan apapun.
"Misalnya yakin dirinya adalah nabi, yakin dirinya dapat menyembuhkan orang sakit, yakin dirinya hendak dicelakakan orang, diracuni orang, diguna-gunai, mendengar suara-suara bisikan yang tidak ada sumbernya, atau gejala berupa berdiam diri, mematung mempertahankan posisi tubuh tertentu. Bisa juga berbentuk tindakan agresif berupa memaki, mengamuk dan melempar barang, bahkan kehilangan rasa malu dengan tidak memakai pakaian di depan umum. Kesadaran tetap jernih dan daya ingat biasanya juga tetap baik," terangnya.
Lebi lanjut Elmeida menuturkan, gejala-gejala yang sering dijumpai antara lain, yakin bahwa ada pikiran asing yang masuk ke pikirannya, menganggap pikirannya disiarkan, waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence) atau passivity yang merujuk pada pergerakan tubuh, pergerakan anggota gerak, pikiran, perbuatan. Suara halusinasi yang berkomentar terus-menerus terhadap perilaku ODS, atau mendiskusikan perihal ODS di antara mereka sendiri, atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
Kemudian, arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang berakibat pembicaraan tidak menyambung. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah, sikap tubuh tertentu (posturing). Sikap sangat masa bodoh (apatis), pembicaraan yang terhenti dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial. Perubahan yang konsisten dan bermakna dalam beberapa aspek perilaku seperti hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri dan penarikan diri secara sosial.
"Tingkat pendidikan, kemampuan intelektual, kultural dan sub kultural juga memegang peranan. Contoh, kemampuan yang terganggu untuk memahami konsep abstrak dapat mencerminkan pendidikan pasien atau intelegensianya. Organisasi keagamaan dan kebudayaan mungkin memiliki pola-pola yang kelihatan aneh bagi orang di luar tetapi normal bagi yang terlibat di dalamnya," paparnya.
Elmeida menyebutkan, terdapat kontribusi dari faktor genetik, biologik dan psikososial dalam terjadinya skizofrenia tersebut. Faktor genetik berupa adanya gen pembawa sifat terhadap gangguan tersebut yang bisa diturunkan, yang dibuktikan dengan besarnya angka kejadian skizofrenia jika memiliki keluarga yang juga mengalami hal yang sama.
"Faktor biologik berupa adanya ketidakseimbangan zat kimia yang ada di otak sehingga menimbulkan berbagai gejala tadi. Faktor psikososial berupa adanya tekanan sosial, komunikasi yang buruk dan sebagainya," imbuhnya.
Selain itu, dia juga menyampaikan, ada beberapa mitos yang berkembang di tengah masyarakat sehubungan dengan skizofrenia dan kenyataannya. Antara lain, skizofrenia bukan gangguan medis, tapi merupakan gangguan ghaib, karena ODS bisa mendengarkan suara-suara ghaib yang tidak dapat didengar dan dilihat orang lain.
"Padahal ODS mengalami gejala klinis yang dikenal dengan halusinasi yang menyebabkan mereka mendengar suara-suara, melihat sesuatu yang tidak tampak. Halusinasi merupakan gangguan persepsi berupa persepsi yang salah tanpa adanya rangsangan eksternal diakibatkan karena gangguan keseimbangan zat kimia otak," sebutnya.
Ada juga yang menyatakan, skizofrenia erat kaitannya dengan 'kemasukan', karena ODS mengatakan ada pikiran asing yang masuk ke pikirannya. ODS juga mengatakan mereka adalah Nabi, tokoh penting, atau seseorang yang memiliki kemampuan khusus, atau menganggap dikendalikan oleh suatu kekuatan asing.
"Kenyataannya, ODS mengalami gejala klinis yang dikenal dengan istilah waham atau delusi, yaitu berupa gangguan isi pikiran yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan sosial budaya yang tidak dapat dikoreksi dengan alasan apapun, yang terjadi karena gangguan keseimbangan zat kimia otak," timpalnya.
Selain itu, ada juga mitos bahwa skizofrenia bukan gangguan medis, tetapi akibat santet dan guna-guna, karena jika dilakukan pemeriksaan medis, berupa pemeriksaan fisik, laboratorium, foto, scanning tidak dijumpai adanya kelainan. Tetapi kenyataannya, pada skizofrenia gangguan terjadi di tingkat biomolekuler dan seluler yang tidak terdeteksi dari pemeriksaan laboratorium, foto dan scanning.
"Karena tidak dijumpai kelainan fisik, laboratorium, maupun scanning, ada juga mitos pengobatannya maka harus dilakukan secara supra natural. Padahal, tidak dijumpai kelainan fisik, laboratorium, scanning bukan berarti tidak ada gangguan medis, dengan perkembangan teknologi akan datang dapat dilihat bahwa terjadi gangguan di tingkat biomolekuler, dan gangguan ini terbukti dapat diatasi dengan pemberian obat, dimana obat tersebut bekerja untuk menstabilkan zat kimia otak yang terganggua keseimbangannya," pungkasnya.