Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Ada banyak cerita di masyarakat, khususnya bagi orang Batak, sejak kurang lebih 4 bulan pandemi corona di Sumatra Utara (Sumut). Termasuk cerita seputar bagaimana mereka harus ikhlas tidak menjalankan prosesi adat terkait penguburan orang meninggal. Seperti yang diceritakan Goklas Gultom, salah seorang warga yang tinggal di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas, Medan, Sumatra Utara, Sabtu malam (20/6/2020).
Tiga hari lalu, Goklas baru saja memakamkan ibunya di salah satu desa di Tapanuli Utara, kampung mereka. Kepada medanbisnisdaily.com, Goklas menceritakannya dengan nada haru.
"Mestinya adatnya saurmatua, karena semua anaknya sudah berkeluarga dan sudah memiliki cucu dari semua anak-anaknya. Tapi karena situasi sekarang, masyarakat di kampung tidak membolehkan. Bahkan keluarga yang di sana pun menjaga jarak. Bukan karena mereka tidak sayang, tapi mereka takut tertular corona. Hanya kurang lebih dua jam mayat tiba di kampung, langsung dimakamkan. Kami juga harus menyediakan APD bagi orang-orang yang membantu mengangkat peti," kisah Goklas.
Masyarakat di kampung, sambung Goklas, sangat takut kalau datang orang dari luar kampung mereka sekalipun keluarganya sendiri. Mereka lihat berita Kota Medan yang sudah zona merah.
"Tak ada yang berani dekati peti. Termasuk adikku sendiri yang tinggal di kampung. Dia nangis tapi agak jauh posisinya. Kami pun tak bisa dekat-dekat dengan keluarga di kampung. Biasanya kalau acara gini kan, langsung berpelukan sanak keluarga sambil menangis. Ini tidak. Semua nangis, tapi sendiri-sendiri dan berjarak. Sedih memang tapi itulah keadaan sekarang, tahu gini harusnya di Medan saja dibuat adatnya meski sederhana," kata Goklas.
BACA JUGA: Pemkab Taput Segera Izinkan Pesta Adat, SOP Sedang Dibahas Bersama LADN
Goklas mengisahkan beberapa hari menjelang ibunya meninggal, mereka sudah merasakan ada tanda-tanda apalagi dalam beberapa bulan terakhir, kondisinya semakin drop. Pihak keluarga sempat akan membawa ke rumah sakit, namun niat itu dibatalkan.
"Taulah sekarang ini, sikit-sikit dibilang corona. Enggak bisa pula kami lihat nanti kuburannya. Jadi kami rawat di rumah," kata Goklas.
Mereka pun membawa mayat itu pagi-pagi buta dari Medan. Tetangga bahkan tidak sempat melihat. Harapannya bisa satu malam di kampung. Tapi keadaan berkata lain. Begitu tiba di kampung mayat diletakkan di halaman rumah dan peti dibuka setengah. Masyarakat banyak yang datang tapi menjaga jarak. Beberapa jam kemudian dikuburkan. Selesai acara penguburan, tidak ada acara selanjutnya di rumah sebagaimana yang lazim dilakukan.
"Hanya ngomong-ngomong seadanya. Hari itu juga kami pulang ke Medan. Situasi di kampung tidak nyaman, bukan karena ada masalah, tapi mereka sangat takut corona," kata Goklas.
Cerita pilu lainnya, dikisahkan warga Timbang Deli lainnya, Marudut Simamora yang bersama medanbisnisdaily.com, ikut mendengar cerita Goklas itu. Marudut mengisahkan pengalaman yang baru saja dirasakannya.
"Itu masih mending lae. Kira-kira sebulan lalu, mertuaku meninggal di Dolok Sanggul. Kami yang datang dari Medan tidak dibolehkan melihat. Hanya boleh melihat dari mobil. Tidak boleh turun dari mobil. Padahal kami sudah bawa surat keterangan sehat," kata Marudut.