Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam mengkritik PT Kimia Farma (Persero) Tbk gara-gara mematok biaya rapid test COVID-19 kemahalan. Aduan yang dia terima, biaya yang dipatok perusahaan pelat merah itu mencapai Rp 500 ribu per orang.
Hal itu dia sampaikan langsung kepada Direktur Utama PT Kimia Farma Verdi Budidarmo dalam rapat dengar pendapat (RDP) terkait pencarian utang pemerintah ke BUMN tahun anggaran 2020.
"Tadi pagi, per tadi pagi kawan kami ada coba ke klinik Kimia Farma di Surabaya. Nah mereka mau rapid test bersama keluarganya. Satu orang Rp 500 ribu, Pak. Itu betul Pak Rp 500 ribu ya? kalau betul ya keterlaluan Pak itu," kata dia dalam RDP yang tayang di situs web DPR RI, Selasa (30/6/2020).
Menurutnya biaya rapid test di Kimia Farma tersebut tidak murah. Padahal masyarakat sekarang sedang butuh rapid test massal untuk memproteksi diri mereka dan keluarganya.
Dia berharap biaya rapid test di perusahaan pelat merah itu bisa lebih terjangkau. Meskipun mengambil keuntungan, tetap dengan angka yang sewajarnya.
"Karena sekali lagi bahwa di tengah pandemi ini kita ini sedih bahwa Kimia Farma ini kan bagian dari BUMN, milik negara. Kita harus bersama-sama bagaimana bisa memberikan akses kesehatan yang terbaik untuk masyarakat. Jangan sampai kita ini sedih di tengah-tengah pandemi begini masih saja, mengambil keuntungan boleh tapi jangan keterlaluan begitu," lanjutnya.
Anggota Komisi VI DPR RI Sondang Tiar Debora Tampubolon juga mengkritisi Kimia Farma. Menurutnya BUMN sektor kesehatan tersebut harus efisien demi meningkatkan daya saing.
"Bagaimana harga production dari obat ataupun alat-alat kesehatan, apapun yang diproduksi itu harus standar Pak. Karena ini eranya sudah terbuka sekali. Ketika tidak terjadi efisiensi, di sana lah perusahaan BUMN-BUMN ini semuanya akan rontok karena tidak memiliki satu keunggulan daya saing dalam hal efisiensi," ujarnya.
Menurutnya biaya-biaya yang tidak perlu harus dihilangkan sehingga Kimia Farma bisa bersaing dengan produk-produk dari perusahaan farmasi yang lain.
"Kalau Bapak tidak memilki competitive advantage salah satunya di bidang efisiensi cost ya impossible. Dan itu akan lagi-lagi membebani keuangan negara karena obat-obatan yang Bapak produksi kan itu dimasukkan ke dalam program-program BPJS," tambahnya. dtc