Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medambisnisdaily.com - Rantauprapat. Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) diperingati setiap tanggal 21 Februari. Seperti umumnya daerah lain di Indonesia, pengelolaan sampah di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara belum dilakukan dengan benar. Keputusan menumpuk sampah di TPA Perlayuan, Rantau Utara, merupakan bom waktu yang akan menimbulkan masalah serius.
Ditambah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan, niscaya mempercepat kerusakan yang ditimbulkan. Dengan situasi seperti ini, sudah saatnya sampah menjadi perhatian semua pihak.
Dari data terakhir BPS Sumut, jumlah penduduk Labuhanbatu adalah 494.178 jiwa. Sementara berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI), setiap orang dikatakan menghasilkan sampah rata-rata sebanyak 0,7 kg/hari.
Itu artinya Kabupaten Labuhanbatu menghasilkan 346 ton sampah perharinya. Dimana 1/3 nya atau 115 ton disumbang oleh Rantauprapat, sebagai Ibu Kota Kabupaten Labuhanbatu, dan bermuara di TPA Perlayuan yang telah beroperasi sejak 1994.
"Rata-rata setiap harinya, ada 18 dump truk yang mengirim sampah ke TPA Perlayuan," kata Supardi Sitohang, Kabid Pengelolaan Sampah dan Limbah B3, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Labuhanbatu, Sabtu (20/2/2021).
Berdasarkan hitung-hitungan di tahun 2019, menurutnya, saat ini TPA seluas 1,6 Hektare ini, telah melewati kemampuan maksimalnya. "Kapasitas normalnya seharusnya sudah penuh pada tahun 2020 lalu," kata dia.
Namun hingga kini, TPA yang bersifat 'open dumping' tersebut, masih terus dijejali sampah dan belum ada rencana menghentikan operasionalnya. Sebuah tindakan yang sangat riskan, mengingat banyaknya kasus, longsor sampah, seperti di beberapa TPA di pulau Jawa.
Bahaya di depan mata ini sebenarnya disadari semua pihak. Pemkab Labuhanbatu dan penggiat sosial yang ada di masyarakat berkali-kali mewacanakan pengelolaan sampah yang berkesinambungan.
Namun wacana yang diiringi terbitnya Perda No 8 Tahun 2017, serta beberapa Perbup lainnya, terkait tata kelola sampah berkesinambungan, ternyata hanya bagus diatas kertas saja.
Ancaman denda Rp 50 Juta yang disebutkan di Perda No 8 tersebut, sampai hari ini belum pernah diterapkan. " Belum pernah. Sampai sekarang kita sifatnya masih menyosialisasikan ke masyarakat," kata Supardi ketika ditanyakan.
Seorang penggiat masalah sosial di Labuhanbatu, Budhi Awaludin Gultom, mengatakan sampah sebenarnya ibarat madu dan racun. "Jika dikelola dengan baik akan menguntungkan, jika sebaliknya akan membinasakan," katanya.
Di sela-sela kegiatannya mengikuti webinar sampah, Jumat (19/2) kemarin, Budhi menilai bahwa kuncinya ada di tangan Pemerintah. "Jika Pemkab serius, saya kira SDM lokal sudah mampu untuk mengelolanya," katanya.
Dikatakan mantan aktivis WWF Indonesia tersebut, bahwa edukasi masyarakat serta tegaknya regulasi, merupakan keping terakhir yang belum dimiliki Kabupaten Labuhanbatu.
"Kita sudah berpengalaman berternak magot. Perkebunan kita pun cukup luas untuk menyerap hasil komposnya kelak. SDM dan tenaga kerjanya nya banyak, hanya tinggal mengedukasi dan menegakkan regulasi saja yang belum konsisten dilakukan," kata dia.
Apa yang dikatakan Budhi, senada dengan pengalaman Een Irawan Putra, Kordinator KPC (Komunitas Peduli Ciliwung) Bogor, yang telah berjuang membersihkan kali Ciliwung sejak 2009.
Dalam Webinar yang diselenggarakan Yayasan Kehati dan Mongabay Indonesia, Jumat (19/2), dia mengakui bahwa selama 10 tahun tanpa dukungan Pemerintah, pencapaian nya hanya secuil kuku jika dibandingkan dengan sekarang.
"Hampir 10 tahun saya berupaya, namun hasil luar bisa baru muncul, sejak Walikota Bima Arya turut serta pada 2018, dengan membentuk satgas," katanya.
Karena itu, dengan potensi maupun ancaman yang ditimbulkan oleh sampah, sewajarnya pemerintah tidak menganggap remeh masalah yang satu ini. Pilihannya hanya dua, menjadi bencana atau menjadi berkah, semuanya terletak di tangan pemerintah.