Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Literasi keuangan masyarakat di Indonesia masih rendah. Menurut Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Didik Madiyono hal itu terjadi salah satunya karena kepercayaan masyarakat untuk menjadi nasabah bank rendah.
Menurutnya, di era kemajuan teknologi saat ini, bias informasi di ruang publik apalagi media sosial sangat banyak terjadi. Ia menilai, dibutuhkan penjelasan yang efektif tentang skema penjaminan simpanan dana masyarakat yang ada di bank untuk mendorong adanya literasi keuangan
"Karena itu, komunikasi publik yang efektif tentang skema penjaminan simpanan kepada masyarakat menjadi sangat penting untuk menciptakan kepercayaan publik," kata dia dalam keterangannya, dikutip Jumat (19/3/2021).
Didik mengatakan berdasarkan survei OJK tahun 2019, literasi keuangan di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain. Karena itu dibutuhkan penjelasan dan edukasi yang lebih mendalam terkait skema, kebijakan dan penjaminan simpanan.
Dia menjelaskan terjadi pergeseran perilaku konsumen pada masa pandemi COVID-19 saat ini, lebih memilih berbagai layanan yang berbasis digital. Terbukti, situasi pandemi meningkatkan ketergantungan konsumen pada layanan berbasis digital. Pada hasil penelitian yang dilakukan Bank Dunia, Google, Temasek, dan Bain & Company menyebut fenomena ini sebagai flight-to-digital.
"Dengan perkembangan teknologi komputerisasi dan digitalisasi, model bisnis perbankan juga terus berkembang. Perkembangan teknologi ini akan mengarah pada perbankan yang lebih efisien, layanan pelanggan yang lebih baik, dan kontribusi yang lebih tinggi bagi perekonomian," jelasnya.
Kemudian di Asia Tenggara, sekitar 1 dari 3 (± 36%) konsumen yang menggunakan layanan digital merupakan konsumen baru selama pandemi. Sekitar 9 dari 10 konsumen yang menggunakan layanan digital baru akan terus menggunakan layanan ini di masa mendatang.
Meskipun mengalami pertumbuhan ekonomi setahun penuh yang negatif di tahun 2020 (yaitu -2.07% YoY), ekonomi berbasis internet Indonesia telah mampu tumbuh dua digit sebesar 11% dari Nilai Pasar Bruto (GMV) pada tahun 2020.
Meski hampir semua lini terdigitalisasi, Didik juga mengingatkan mengenai potensi risiko dan tantangan yang akan dihadapi, baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
Ia menjelaskan, menurut World Economic Forum Global Risks Perception Survey 2020, salah satu ancaman potensial dalam perkembangan digital ialah ketidaksetaraan digital (digital inequality). Menurutnya, hal tersebut merupakan risiko dengan tingkat kemungkinan yang tinggi dalam sepuluh tahun ke depan, termasuk risiko keamanan siber.
"Dalam jangka panjang, kita perlu bersiap menghadapi dampak buruk teknologi. Oleh karena itu, perlu disiapkan rencana penanganan risiko yang memadai agar dapat meminimalkan dampak dari potensi risiko yang mungkin timbul tersebut," jelas dia.(dtf)