Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Pemerintah menetapkan 3 anjungan minyak dan gas (migas) lepas pantai (offshore) yang sudah tak lagi beroperasi alias menganggur untuk dialihfungsikan atau decommissioning menjadi terumbu karang (rig-to-reef). Anjungan tersebut berlokasi di wilayah kerja (WK) East Kalimantan-Attaka.
Biaya yang diperlukan untuk decommissioning 3 anjungan tersebut cukup besar, yakni sekitar US$ 20-21 juta, atau sekitar Rp 288-302 miliar (kurs Rp 14.447). Decommissioning perlu dilakukan pada anjungan yang menganggur untuk mencegah dampak negatif pada lingkungan dan navigasi.
"Biayanya bervariasi, tapi perkiraan yang project yang di Attaka, ada perkiraan sekitar US$ 6-7 juta US$. Ada 3 platform tadi, jadi rata-rata sekitar US$ 20-21 juta untuk 3 platform, cukup besar biayanya," ujar Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno dalam webinar PII Learning Center, Selasa (23/2/2021).
Adapun target pemerintah sepanjang 2021 ini ialah melakukan decomissioning 10 anjungan. Selain lapangan Attaka, ada 4 anjungan yang juga ditargetkan untuk decommissioning, yakni lapangan Yakin yang juga berlokasi di WK East Kalimantan-Attaka. Kedua blok dikelola oleh PT Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT). Kemudian, 3 anjungan lainnya berlokasi di WK Offshore North West Java (ONWJ) yang dikelola oleh PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ.
Julius mengatakan, untuk decommissioning anjungan di blok Attaka akan dilakukan bekerja sama dengan Pemerintah Korea. Sementara, decommissioning di lapangan Yakin dan juga di WK ONWJ ini masih didiskusikan siapa yang akan melaksanakannya.
"Terus ada lagi 4 platform yang siap dipotong, ini juga di lapangan Yakin, masih dalam operasional PHKT, di sebelah selatannya dari Attaka. Jadi di lapangan Yakin ada 4 platform. Dan juga ada 3 platform di ONWJ, sedang kita diskusikan. Nanti yang potong ya kalau tidak ketemu dengan partner Korea, ya kita akan dorong kontraktor yang mengoperasikan wilayah kerja tersebut yang akan melakukan pengerjaan decommissioning tersebut," tutur dia.
Ia menerangkan, anjungan-anjungan menganggur ini tercatat sebagai barang milik negara (BMN) di Kementerian Keuangan. Namun, jika ingin dilakukan decommissioning, maka harus dilakukan penghapusan aset oleh pemerintah.
"Karena dalam kontrak di hulu migas, itu kan kontrak kerja sama proyek pemerintah, dan juga dibiayai dengan cost recovery, dari biaya operasi yang dikembalikan. Sehingga setiap platform menjadi BMN, dan tercatat dalam akuntansi di Kemenkeu. Sehingga setiap kita mau mengajukan pengerjaan ASR, atau decommissioning itu tentu saja akan dimintakan write-off, pelepasan dari Kemenkeu sebagai pemilik BMN tersebut," urainya.
Namun, itu hanya untuk anjungan yang punya nilai tinggi. Sementara, bagi anjungan yang tak memiliki nilai tinggi, maka kewenangannya ada di Kementerian ESDM.
"Di tahap tertentu, kalau punya nilai lebih dari financial masih tinggi maka dimintakan persetujuan dari Kemenkeu. Tapi kalau sudah tidak, itu mungkin dalam kewenangan Kementerian ESDM. Jadi sebenarnya SKK Migas tidak punya kewenangan apa-apa," pungkasnya.(dtf)