Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Medan, bersama puluhan jurnalis Kota Medan lainnya melakukan aksi damai memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia di Bundaran Mayestik Jalan Gatot Subroto, Medan, Senin (3/5/2021) siang.
Puluhan jurnalis ini melalukan kampanye dengan memajang poster, antara lain bertuliskan Junalis Bekerja Untuk Publik, Publik Lindungi Jurnalis, Lawan! Tindakan Biadab Aparat Terhadap Jurnalis', 'Tindak Aparat Brutal Pembangkang UU Pers, 'Jurnalis Bekerja Untuk Publik Jangan Ada Kekerasan Diantara Kita dan Stop! Kekerasan Aparat Hormati Kerja Jurnalis.
Ketua AJI Medan, Liston Damanik mengatakan bahwa hari ini ia dan rekan-rekan jurnalis lainnya di seluruh Indonesia memperingati hari kebebasan pers sedunia dengan cara turun ke jalan.
"Jadi ini adalah momen yang sangat penting bagi jurnalis di seluruh dunia setiap tahunnya, untuk terus menggelorakan, mengingatkan kepada masyarakat tentang pentingnya kebebasan pers bagi seluruh masyarakat," ungkapnya.
Liston menyebutkan bahwa ada beberapa tuntutan isu yang mereka sampaikan, tentang perkembangan pers di Indonesia yang semakin memperhatinkan, mengingat banyaknya kasus kekerasan terhasap jurnalis yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
"Tuntutan kita mengacu kepada perkembangan kebebasan pers di Indonesia satu tahun terakhir. Kami menuntut pemerintahan Jokowi untuk melindungi kebebasan pers sesuai komitmennya selama ini. Kedua kami juta meminta kepada Polri untuk menghentikan tindakan kekerasan terhadap jurnalis," jelasnya.
Menurutnya, setiap tahunnya terbukti kasus kekerasan terhadap wartawan terus terjadi dan pelaku kekerasan paling sering dilakukan adalah polisi. "Karena setiap tahun sudah terbukti dan dicatat bahwa kepolisian merupakan organisasi yang menjadi musuh terhadap kebebasan pers di Indonesia," pungkasnya.
Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia tidak hanya berlangsung di Kota Medan saja. Aksi damai juga dilakukan di Kota Pematangsiantar.
Diketahui, dalam setahun terakhir, AJI mencatat kasus kekerasan terhadap jurnalis meningkat dan polisi masih terbanyak sebagai pelaku Kekerasan pada jurnalis dalam setahun ini mencapai 90 kasus, jauh dibandingkan dengan periode sebelumnya sejumlah 57 kasus.
Kekerasan dengan polisi sebagai pelakunya, cukup dominan. Namun pemerintah cenderung melakukan pembiaran terhadap kasus yang menyerang media dan jurnalis, mengakibatkan kekerasan berulang.
Tindakan represi terhadap jurnalis tak hanya menimpa secara luring tapi meluas ke daring. Ini membuat jurnalis menghadapi tantangan yang makin kompleks di masa pandemi dan ruang aman yang kian menyempit.
Data AJI menunjukkan dalam rentang Mei 2020-akhir April 2021, telah terjadi 14 kasus teror berupa serangan digital. Jumlah itu meliputi 10 jurnalis yang menjadi korban dan empat situs media online.
Sedangkan bila dilihat dari jenis serangannya yakni 8 kasus doxing, 4 kasus peretasan, dan 2 kasus serangan distributed denial-of-service (DDos). AJI juga menggarisbawahi bahwa jenis kekerasan yang terlupakan adalah berupa kekerasan seksual.
Berdasarkan data Survei Kekerasan Seksual di Kalangan Jurnalis yang dilakukan oleh AJI Jakarta pada tahun 2020, terdapat 25 jurnalis yang pernah mengalami kekerasan seksual. Bahkan berdasarkan data tersebut, tak sedikit dari korban yang mengalami kekerasan berulang atau lebih dari satu kali, dengan korban didominasi oleh jurnalis perempuan.
Pelaku terbanyak dari kekerasan seksual tersebut adalah narasumber pejabat publik, narasumber non pejabat publik, dan rekan kerja. Adapun rekan kerja yang menjadi pelaku yakni atasan, rekan sekerja sekantor non atasan, dan rekan sesama jurnalis dari media yang berbeda.
Kebebasan pers di Indonesia semakin suram karena tidak ada revisi UU ITE. Sejak diundangkan pada 2008 dan direvisi pada 2016, UU ITE masih jadi momok kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Koalisi Serius Revisi UU ITE kolaborasi 24 organisasi masyarakat sipil termasuk AJI, menganalisis bahwa ada 8 pasal bermasalah yang membelenggu ruang kebebasan berekspresi. Dari 8 pasal tersebut, AJI mencatat ada 3 pasal yang mengancam langsung pada kebebasan pers.
Ketiga pasal itu, yakni Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik, Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran dan Pasal 40 ayat (2b) yang memberikan kewenangan pada pemerintah melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
Tak ketinggalan, AJI juga menyoroti tentang kebebasan pers khususnya di Papua, meski ranking kebebasan pers Indonesia di internasional naik dari posisi 139 pada 2013 ke posisi 119 pada 2021, menurut Reporters Without Borders. Namun nasib kebebasan pers di Papua alih-alih menjadi lebih baik, pemerintah justru menutup akses untuk jurnalis asing dan tingginya ancaman kekerasan pada jurnalis yang meliput di sana.
Data yang dikumpulkan Subbidang Papua AJI Indonesia dari pelbagai sumber, jumlah kekerasan terhadap jurnalis dan media di Papua dalam 20 tahun terakhir (2000-2021) sebanyak 114 kasus. Jumlah ini meliputi kekerasan pada jurnalis asli Papua, jurnalis non-Papua, dan intimidasi ke perusahaan media. Sedangkan secara khusus, jumlah kasus kekerasan pada periode Januari-akhir April 2021 mencapai 5 kasus.