Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan organisasi mahasiswa tertua dan terbesar di Indonesia. Banyak orang-orang besar di Indonesia yang pernah menempah dirinya di HMI.
Tapi tahukah kamu, pendiri HMI merupakan pemuda yang berasal dari Sumatera Utara (Sumut). Tepatnya dia berasal dari Sipirok, Tapanuli Selatan (Tapsel), ia adalah Lafran Pane.
Dikutip dari buku Merdeka Sejak Hati karya Ahmad Fuadi pada Minggu (12/6/2022), menjelaskan bagaimana kisah hidup Lafran Pane dari dia kecil di Tapsel, remaja di Medan dan di Batavia (Jakarta), hingga beranjak ke Yogyakarta. Di Yogyakarta lah, dia mendirikan HMI tersebut.
Lafran Pane merupakan anak dari Sutan Pangurabaan Pane, seorang guru di wilayah Mandailing Natal. Sutan juga merupakan salah satu pendiri Muhammadiyah di Sipirok tahun 1921. Keluarganya memiliki Pengangkutan Sibualbuali yang memiliki 250 mobil pengangkutan. Lafran lahir 5 Februari 1922, namun selama ini dia menyatakan lahir pada 12 April 1923. Tujuannya agar HMI yang dia dirikan tidak identik dengan dirinya.
Lafran memiliki saudara kandung, yang merupakan sastrawan besar negara ini. Yaitu Sanusi Pane dan Armijn Pane. Bakat sastrawan tersebut sepertinya diturunkan oleh ayahnya Sutan yang merupakan seorang wartawan, penulis dan juga tokoh Partai Indonesia (Partindo) di Sumut.
Lafran Pane semasa kecil, diasuh oleh ibu tirinya. Semasa kecil, Lafran merupakan anak yang sangat nakal. Oleh orang tuanya, Lafran diajari tentang agama oleh guru kenamaan di kampungnya, Malim Mahasan.
Dia menempuh pendidikan formal di banyak sekolah, mulai di pesantren Muhammadiyah Sipiriok, sekolah desa 3 tahun, semuanya tidak tamat. Lalu pindah ke Sibolga, masuk ke HIS Muhammadiyah. Kemudian kembali lagi ke Sipiriok, masuk Ibtidaiyah diteruskan ke Wustha. Dari Wustha pindah ke Taman Siswa Sipirok.
Dari Taman Siswa Sipirok, Lafran akhirnya dibawa oleh kakak kandungnya Dr. Tarip ke Medan. Di Medan, dia melanjutkan sekolah yang tertunda di Taman Siswa di Medan, namun tidak selesai. Lafran akhirnya melarikan diri dari rumah kakaknya tersebut dan berkelana di Medan.
Dia meninggalkan rumah kakaknya, disebabkan penolakan batin yang dirasakan oleh Lafran dengan tata krama di rumah kakaknya itu. Misalnya, saat makan tidak boleh bicara, tidak boleh ada suara dari piring dan sendok. Baginya, bertentangan dengan batinnya.
Selama meninggalkan rumah, dia hidup di jalanan Medan. Dia tidur di emperan toko, main kartu, jual es lilin dan juga menjual karcis bioskop. Saat jualan karcis, Lafran sempat jadi petinju jalanan, walaupun badannya kecil, namun mentalnya luar biasa. Dia tidak takut melawan orang yang jauh lebih besar darinya.
Akhirnya oleh abangnya, Sanusi dan Armijn Pane, Lafran dibawa ke Batavia pada tahun 1937. Di Batavia, dia kembali melanjutkan sekolahnya di kelas 7 HIS Muhammadiyah, menyambung ke MULO Muhammadiyah, ke AMS Muhammadiyah, kemudian ke Taman Dewasa Raya Jakarta.
Ketika sekolah di Taman Dewasa Raya Jakarta, Lafran Pane bertemu dengan Dipa Nusantara Aidit (Tokoh PKI), dan di zaman Belanda, keduanya memasuki Barisan Pemuda GERINDO, yang pada akhirnya antara Lafran dan Aidit memiliki keyakinan berlawanan. Dan Aidit pernah memimpin aksi untuk membubarkan HMI yang notabane adalah organisasi yang didirikan oleh Lafran Pane.
Pada tahun 1942, masa pendudukan Jepang, Lafran Pane pernah mau dijatuhi hukuman mati oleh pihak Jepang. Kala itu Lafran pulang ke kampungnya, disana dia difitnah dan dituduh melakukan pemberontakan kepada Jepang. Dia tidak jadi di eksekusi, karena pengaruh ayahnya yang cukup besar saat itu di sana.
Akibat kejadian tersebut, Lafran akhirnya berangkat kembali ke Jakarta. Sesampainya di sana, dia sempat bekerja di Kantor Statistik Jakarta, di perusahaan besar Apothek Bavosta, bahkan jadi pimpinan umum di Apothek tersebut, tahun 1945.
Pada tahun 1946, pada masa agresi militer Belanda, ibu kota berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Hal ini juga menyebabkan pindahnya Sekolah Tinggi Islam (STI) dari Jakarta ke Yogyakarta, pada tanggal 10 April 1946. Lafran, yang jadi mahasiswa baru, juga akhirnya pindah ke Yogyakarta untuk kuliah.
Di kampus ini lah pemuda asal Sumut tersebut menyusun dan mendirikan HMI, tepatnya pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan 5 Februari 1947. Pada tanggal 20 Mei 1948, STI berubah nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).
Lafran Pane memperkarsai pendirian HMI setelah melewati pergolakan pemikiran panjang. Konsolidasi pembentukan tersebut dilakukannya sejak November 1946. Dia mendirikan HMI dengan dua tujuan. Pertama, mempertahankan Republik Indonesia dan mempertingggi derajat rakyat Indonesia, kedua yaitu menegakkan dan mengembangkan ajaran islam.
Dia mendirikan tersebut bersama 13 orang kawannya yang lain. Yaitu Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Siti Zainah, Maisaroh Hilal (cucu KH. A. Dahlan), Soewali, Yusdi Ghozali (pendiri PII), Mansyur Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayep Razak, Toha Mashudi dan Bidron Hadi.
Lafran menjadi Ketua Umum pertama HMI, namun selang beberapa bulan dia mundur menjadi wakil ketua, tepatnya 22 Agustus 1947. Saat ini, HMI sudah menyebar ke seluruh Indonesia dengan jumlah cabang ratusan. Bahkan ada beberapa negara yang memiliki cabang HMI, seperti di Malaysia, Maroko, Tiongkok.
Lebih lanjut, Lafran Pane pindah dari STI/UII ke Akademi Ilmu Politik (AIP) , pada April 1948. AIP ini merupakan cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) yang kemudian dari fakultas itu muncul Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM.
Dalam UGM, Lafran termasuk salah satu mahasiswa yang lulus mencapai titel sarjana (Drs). Bahkan Lafran Pane menjadi pertama yang menjadi Sarjana Politik di Indonesia. Lafran, mempunyai banyak karier semasa hidup, bahkan dia pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, setelah Akbar Tanjung dan kawan-kawan membujuk beliau.
Karier Lafran dimulai, jadi Direktur Kursus BI & B II Negeri Yogyakarta, yang diselengarakan oleh Kementerian PP & K dan akhirnya menjadi Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) UGM, pelopor berdirinya IKIP Yogyakarta, pernah menjadi Dekan Fakultas Keguruan Pengetahuan Sosial IKIP Yogyakarta, dosen Fakultas Sospol UGM, Akademi Tabligh Muhammadiyah (ATM) dan Dosen UII, dosen IAIN, hingga terjadinya peristiwa 10 Oktober 1963.
Lafran juga menjadi Guru Besar dalam Ilmu Tata Negara dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia, sejak tanggal 1 Desember 1966, Lafran Pane diangkat menjadi Guru Besar Ilmu Tata Negara, Lafran Pane juga terjun ke dalam KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), dan menjadi 5 besar pimpinan KASI, anggota Dewan Pertimbangan Agung Presiden.
Lafran Pane meninggal dunia pada 25 Januari 1991, dia dimakamkan di Yogyakarta. Berkat jasa-jasanya, Lafran Pane dianugerahi Pahlawan Nasional pada 6 November 2017, masa Presiden Joko Widodo.(dtc)