Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PENETAPAN Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas yang berstatus TNI aktif sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi mendapatkan respon yang serius dari Mabes TNI.
Danpuspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko mengatakan, penetapan status tersangka terhadap dua TNI aktif oleh KPK menyalahi aturan dan tidak sesuai dengan prosedur yang ada.
Tidak lama berselang pasca Mabes TNI memberikan respon atas penetapan tersangka dua orang TNI aktif, melalui salah seorang pimpinannya KPK menyatakan permohonan maaf kepada Panglima TNI karena ada kekeliruan dan kesalahan prosedur dalam penetapan dua orang TNI aktif sebagai tersangka.
Memahami Sistem Peradilan Pidana Militer
Hukum di Indonesia pada dasarnya melakukan pembagian terhadap adresat hukum yang ada. Pembagian itu terdiri dari subyek hukum umum dan subyek hukum khusus. TNI atau militer merupakan salah satu bentuk daripada subyek hukum khusus yang ada.
BACA JUGA: Menyoal Sarana Penanggulangan Tindak Pidana
Pengakuan militer sebagai subyek hukum khusus ialah konsekuensi daripada pengaturan sistem peradilan pidana militer sebagai sistem peradilan pidana khusus.
Militer secara legalitas formal mempunyai sistem peradilan pidana tersendiri yang berbeda dengan sistem peradilan pidana yang berlaku bagi masyarakat sipil. Mulai dari tahap penyidikan hingga proses pengadilan sistem peradilan pidana militer mempunyai proses dan tata cara yang berbeda.
Sistem peradilan pidana militer melakukan penyidikan, penuntutan dan mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh militer. Tindak pidana di sini tidak hanya terbatas pada tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), namun juga tindak pidana yang terdapat dalam undang-undang lainnya.
Artinya, titik fokus daripada sistem peradilan pidana militer ini terdapat pada adresat hukum yang melakukan suatu tindak pidana, bukan kepada tindak pidana apa yang dilakukan.
Hal tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Selama pelaku suatu tindak pidana adalah seorang militer, maka secara expressive verbis menurut Undang-Undang Peradilan Militer, maka yang berlaku ialah sistem peradilan pidana militer.
Penetapan dua orang militer aktif oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi secara legalitas pada dasarnya memang tidak sejalan dengan UU Peradilan Militer. Meskipun KPK mempunyai kewenangan yang diatur dalam undang-undang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, KPK tidak bisa melakukan penyelidikan bahkan penyidikan begitu saja terhadap anggota militer.
Terdapat batasan melakukan penyelidikan dan penyidikan oleh KPK terhadap militer sebagaimana yang diatur dalam UU Peradilan Militer. Amanat UU Peradilan Militer yang berwenang melakukan penyidikan terhadap anggota militer hanyalah Atasan Yang Berhak Menghukum (ANKUM), Polisi Militer dan Orditur. Mesikipun tindak pidana yang dilakukan bukan merupakan delik dalam KUHPM.
Pembatasan Kewenangan
BACA JUGA: Menyoal Penafsiran dan Pengaplikasian RKUHP
Dibatasinya kewenangan KPK atau lembaga penegak hukum lainnya untuk melakukan penyidikan terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana korupsi tentunya akan menjadi suatu kesulitan untuk mengungkap tindak pidana korupsi yang melibatkan anggota militer.
Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika setiap ada anggota militer yang terlibat dalam suatu tindak pidana korupsi, tim penyelidik atau penyidik dari KPK/lembaga penegak hukum lainnya harus melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan TNI secara kelembagaan dan menyerahkan kewenangan penyidikan kepada tim penyidik dari TNI. Tentunya hal tersebut akan menjadi praktik yang buruk dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Keberadaan peradilan pidana militer yang secara khusus menyidik, menuntut dan mengadili anggota militer yang melakukan tindak pidana menurut penulis tidaklah menjadi permasalahan.
Yang menjadi permasalahan ialah keberadaan sistem peradilan pidana militer yang meniadakan kewenangan daripada penegak hukum lainnya.
Pembatasan kewenangan tersebut tentunya akan mempersulit pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Penegak hukum nonmiliter yang sudah mengetahui adanya dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan anggota militer, akan merasa enggan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan karena mereka dibatasi oleh suatu aturan.
Perlu Pembaruan Aturan
Pengaturan pembatasan kewenangan penegak hukum non militer terhadap militer yang melakukan tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi menurut penulis harus segera dilakukan pembaruan.
Pintu pembaruan sebenarnya sudah terlihat dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Pasal 65 ayat (2) undang-undang a quo menyebutkan bahwa “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradila umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.
Artinya kekhususan peradilan militer titik fokusnya tidak lagi kepada adresat hukum yang melakukan tindak pidana, akan tetapi kepada delik yang dilakukan oleh militer.
Namun, ketentuan pasal 65 ayat (2) undang-undang a quo yang merupakan pintu pembaruan dikunci kembali oleh pasal 74 undang-undang yang sama “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 65 berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan.”
Pengaturan dalam UU No 34 Tahun 2004 khususnya Pasal 65 ayat (2) tersebut setidaknya bisa dijadikan dasar oleh pengambil kebijakan dalam melakukan pembaruan terhadap aturan pemeriksaan anggota militer yang melakukan tindak pidana.
====
Penulis Penggiat Hukum Pidana/MIH Universitas Gadjah Mada
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]