Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
KEMBALI mencuatnya kasus korupsi dalam sektor strategis pertambangan memberi ruang rasional baru jika bidang usaha ekstraktif ini merupakan titik kelola utama yang harus diperhatikan secara serius dan transparan.
Pada Maret 2024 ini, pemberitaan penahanan kasus korupsi pengusaha Harvey Moeis resmi ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam masalah korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 sampai 2022. Kejaksaan Agung menduga korupsi ini merugikan negara hingga Rp 271 triliun.
Kasus skandal mega korupsi pada sektor pertambangan memberi aksentuasi yang serius jika penataan usaha pertambangan sampai hari ini masih belum berhasil.
Selalu saja ada berita tentang skandal hukum pertambangan dan upaya sistematis dalam melakukan langkah penyalahgunaan wewenang terkait izin pertambangan sesuai dengan pesanan kepentingan tertentu.
Jika dikaji komprehensif, mulai dari kawasan daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku sampai pada Papua selalu ada jejak masalah pertambangan yang memberi dampak signifikan terhadap banyak masalah sosial dan kerusakan lingkungan pada wilayah lingkar pertambangan.
Dimana ada tambang maka disana ada supremasi penderitaan warga yang merasa mendapatkan ketimpangan hak ekonomi, sosial dan kesehatan lingkungan.
BACA JUGA: Modernisasi Investasi Negara
Dilematisasi Kebijakan
Masalah klasik yang sering terjadi di Indonesia terkait aktivitas pertambangan adalah selalu buah dari anomali kebijakan. Aktivitas pertambangan pun sering dipersepsikan telah memberi suatu efek yang negatif, dikarenakan pada aktivitas pertambangan yang memiliki sifat “zero value” dimana adanya aktivitas tambang yang tidak sesuai dengan standar atau kriteria baik secara hasil kelayakan, seperti dari ekonomis, perencanaan pasca tambang, dan ini memberi akibat berkelanjutan bagi kesinambungan kehidupan masyarakat.
Tentu saja tak semua pertambangan memberi ruang penderitaan yang masif, karena untuk saat ini sektor pertambangan Indonesia masih menjadi sentris utama bagi ruang konsumsi dan produksi masyarakat global.
Beberapa jenis sumber daya pertambangan Indonesia yang paling dikenal diantaranya adalah produksi mineral dan logam, seperti halnya bauksit, tembaga, batubara, emas, Timah dan nikel.
Selain dari produksi mineral logam, ada juga dari komoditas lain seperti bahan galian, dimana komoditas bahan galian ini masih digunakan sebagai bahan utama dalam pembangunan-pembangunan infrastruktur, seperti jalan, perumahan, gedung, dan lain-lain.
Secara lugas sebenarnya ada peran penting pemerintah untuk terus mengawasi terkait aktivitas tambang yang dilakukan perusahaan dengan melakukan beberapa langkah rasional terkait penataan aktivitas pertambangan secara tepat sasaran.
Dalam Pasal 38, pihak yang melakukan kegiatan pertambangan meliputi dari Perseorangan, Badan Usaha swasta, dan koperasi. Pada posisi ini,pelaku kegiatan pertambangan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu pertambangan dengan skala yang kecil atau pertambangan rakyat, menengah, dan besar.
Situasi inilah yang seringkali membuat terjadinya upaya sadar dalam melawan hukum negara.
Dalam kasus hukum Harvey Moeis, perbuatan melawan hukum yang disangkakan kepadanya terkait akomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
Dalam berita acara penyidikannya, setelah beberapa kali pertemuan, disepakati kerja sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah di wilayah IUP PT Timah Tbk.
BACA JUGA: Strukturalisasi Kebijakan Pangan Indonesia
Harvey diduga memerintahkan para pemilik smelter menyisihkan sebagian keuntungan dari usahanya. Keuntungan itu kemudian dibagi untuk Harvey dan sejumlah tersangka lainnya.
Kejaksaan menduga pemberian uang disamarkan sebagai dana Corporate Social Responsibility. Dana tersebut disalurkan kepada Harvey melalui perusahaan PT QSE yang difasilitasi oleh tersangka lainnya, yakni Helena Lim.
Dengan demikian, ada tindakan kerjasama secara ilegal untuk mendapatkan keuntungan pribadi diluar peraturan hukum yang berlaku.
Penataan Struktural
Di balik sengkarut masalah kompleks dari kasus korupsi pertambangan timah, sampai saat ini Indonesia masih menjadi penjual utama dalam pasar logam dunia.
Produktivitas besar atas kekayaan tembaga, timbel, seng, aluminium, nikel, dan timah yang terkandung di tanah Indonesia telah mereposisi ulang kedudukan sektor pertambangan dalam kacamata industri pertambangan.
Ambil contoh pada soal potensi ekonomi Timah yang berperan sangat besar dalam industri dunia. Bisa dibayangkan nasib industri elektronika, otomotif, casing laptop, handphone, makanan kaleng, dan industri logam-logam campuran seperti halnya baterai, jika tanpa timah semua produk – produk bukan menjadi barang bernilai mahal.
Jika kita perhatikan besarnya produksi logam timah Indonesia dalam konstalasi dunia. Dari 333.900 ton produksi dunia itu (sumber Commodity Research Unit/CRU, 2005), timah yang keluar dari Indonesia (baca Babel) kurang lebih sebesar 90.000 ton.
BACA JUGA: Melihat Proyeksi Pangan 2024
Ini belum termasuk yang diproduksi dan dijual di pasar bebas oleh perusahaan-perusahaan Small smelter di Babel yang besarnya diperkirakan mendekati produksi PT Timah dan PT Kobatin 15.
Jika semuanya ditotal, maka keseluruhan dari produksi logam timah yang dihasilkan Indonesia akan menguasai tak kurang dari 50 persen dari produksi dunia, jauh di atas Cina yang dalam statistik CRU tahun 2005 berada pada peringkat pertama dengan total produksi 124.000 ton. PT Timah memproduksi 65.000 ton dan PT Kobatin 25.000 ton.
Sayang persentase Timah yang sangat besar, tak memberi dampak yang signifikan bagi konsumen timah dunia. Cina yang memproduksi 124.000 ton pada 2005 mengkonsumsi sendiri sebesar 102.000 ton.
Jepang yang tak punya timah mengkonsumsi 35.000 ton. AS yang tidak punya timah mengkonsumsi 49.000 ton. Eropa, bukan produsen, mengkonsumsi 78.000 ton. Sementara Indonesia digolongkan dalam negara-negara Asia lain selain Jepang dan Cina mengkonsumsi 62.000 ton.
Dalam perkembangan sampai hari ini, Indonesia masih menjadi lumbung timah yang produktif bagi dunia. Sayangnya Timah dalam negeri banyak dikuras tanpa kejelasan hilirisasi dan pembagian keuantungan yang sistemik bagi negara.
Ambil contoh lumbung Timah yang ada di Bangka Belitung. Bagi masyarakat lokal adanya dominasi lapangan kerja pertambangan disana secara taktis tidak memberi dampak yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan warga lokal.
Kasus-kasus semacam ini jelas memberi nilai paradoks bagi pertumbuhan dan keberlanjutan ekonomi negara.
Secara sederhana ada dua pendekatan umum yang dapat diberikan dalam menata ulang kekayaan pertambangan di Indonesia. Pertama, konsistensi dan tingginya penegakan sistem aturan hukum.
Melalui cara ini sebenarnya dapat diberikan langkah taktis untuk memberikan ruang kelola secara rasional dan transparan untuk menciptakan titik titik sistematis yang memberi dasar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
Kedua, melalui sinkronisasi pemetaan kebijakan pertambangan yang dialihkan pada upaya konservasi dan peningkatan nilai tambah. Konstruksi kebijakan ini dirasa sangat penting untuk menjaga ruang kestabilan industri pertambangan di Indonesia.
Pemerintah memang harus secara serius untuk menjaga peningkatan Domestic Market Obligation (DMO) secara akuntabel demi memberi dampak simultan bagi gerak pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Fakta rasional yang terjadi selama ini, kontribusi industri pertambangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih fluktuatif dan cendrung stagnan.
BACA JUGA: Dekonsentrasi Ekonomi Digital Indonesia
Ini dapat terlihat selama masa pandemi Covid -19 dimana terjadi kelesuan yang sangat tinggi bagi serapan kerja industri pertambangan dalam negeri.
Dari data sosial ini menunjukkan jika serapan potensi sumber daya tambang Indonesia untuk saat ini masih terbilang sangat sedikit. Disinilah sebenarnya peran besar pemerintah Indonesia dalam memetakan segala macam kompleksitas strukturistik tata kelola pertambangan secara sistem.
Dari sini nantinya akan didapatkan pula potensi sumber daya alama yang dimiliki oleh masing-masing daerah
====
Penulis Peneliti dan Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]