Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
23 tahun masa reformasi Indonesia sejak 20 Mei 1998 berjalan, terjadi perbaikan cepat dan menyeluruh dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia. Sejumlah lembaga baru telah terbentuk,
kebijakan dwifungsi ABRI dihapus, beberapa kali Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 diamandemen dan modernisasi sistem telah dilakukan pemerintah. Sistem politik Indonesia pun lebih terbuka memungkinkan semua orang untuk ikut ambil bagian dalam pemerintahan, dalam ruang eksekutif, legislatif atau yudikatif.
Namun, perlu diakui reformasi masih memiliki sejumlah kekurangan, di antaranya dalam sistem politik yang kita anut sekarang telah menciptakan sebuah kultur politik yang transaksional dan berbiaya tinggi yang jauh dari nilai sistem demokrasi sesungguhnya. Dalam hasil studi terbaru yang dilakukan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 3 Februari 2021, skor Indonesia dalam halIndek Indeks Demokrasi 2020 mengalami kemunduran yang drastis. Indeks tersebut merupakan skor terendah dalam beberapa dekade terakhir.
Secara global banyak negara demokrasi dunia yang mengalami penurunan nilai rata-rata indeks selama masa pandemi Covid-19. Tapi penurunan Indonesia mengalami tekanan indikator skor karena terjadi perubahan ekspresi dan kultur politik di Indonesia dinilai sangat jauh menurun sebelum adanya wabah Covid-19.
Menurunnya indeks demokrasi Indonesia, memberi bukti jika ada yang salah dalam tata kelola Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) utamanya dalam ruang pembinaan kultur demokrasi. Turunnya skor indeks demokrasi Indonesia ini juga memberi pemahaman penting
jika Indonesia sekarang masih belum memberi cukup teladan untuk berdemokrasi secara luas. Masih maraknya sikap rasisme, primordialisme, sikap permisif terhadap praktik korupsi, kuatnya
politik dinasti hingga pembatasan kebebasan berbicara menjadi contoh sikap yang memberi nilai negatif bagi ruang demokrasi Indonesia.
Evaluasi Besar
Dalam laporan Indeks Demokrasi Indonesia, skor Indonesia ada indeks itu tercatat 6,30, dalam skala 0-10. Semakin tinggi skor berarti semakin baik kondisi demokrasi sebuah negara.
Jika meninjau data capaian Indonesia 2020, maka skor tahun ini turun dibanding capaian yang diraih pada 2019, yakni 6,48. Nilai 2020 menjadi titik terendah untuk Indonesia sepanjang 14 tahun, atau sejak indeks ini disusun oleh EIU 2006. Dengan skor rata-rata sebesar 6,30, Indonesia dapat tergolong dalam penilaian flawed democracy (demokrasi yang cacat).
Pada posisi keseluruhan Indonesia menempati urutan ke- 64 dari 167 negara yang dikaji. Untuk ukuran kawasan Asia Tenggara, kualitas demokrasi Indonesia dinilai berada di bawah Malaysia (7,19), Timor Leste (7,06), dan Filipina (6,56). Hal ini jelas ironi, terlebih jika dibandingkan dengan negara Timor Leste yang secara genesis merupakan bekas salah satu provinsi Indonesia yang memerdekakan diri.
Capaian Indonesia ini jelas sangat buruk. Dari lima aspek demokrasi EIU, penurunan tajam dialami Indonesia pada indikator budaya politik yang hanya memperoleh 4,38 poin. Skor ini anjlok dari capaian tahun 2019, yakni 5,63. Adapun pada aspek budaya politik, meliputi indikator persepsi kepemimpinan eksekutif dan legislatif, persepsi kepemimpinan militer, persepsi kepemimpinan teknokratik, persepsi demokrasi, sistem ekonomi, seberapa penting pemisahan institusi keagamaan dengan pemerintahan.
Skor Indonesia stagnan pada tiga aspek demokrasi, yakni partisipasi politik (6,11), proses elektoral dan pluralisme (7,92) dan kebebasan sipil (5,59). Satu-satunya indikator yang membaik ialah keberfungsian pemerintah (7,50), yang naik dari skor 7, 14 tahun 2019.
Menganalisa dari semua indeks demokrasi yang ditunjukkan tersebut, maka dapat dinilai iklim kehidupan demokrasi Indonesia sekarang mengalami masalah yang serius. Boleh jadi ini merupakan wujud dari dominannya politik otoritarianisme yang dijalankan oleh elite politik Indonesia.
Politik otoritarianisme atau politik otoriter merupakan bentuk penekanan kekuasaan hanya terpangku pada kekuasaan negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan
individu.
Edward Aspinall dan Marcus Mietzner (2019) pernah menyatakan, perkembangan demokrasi Indonesia sesungguhnya telah berada di titik terendah dalam 20 tahun terakhir. Pernyataan ini mereka sampaikan menjelang kontestasi pemilihan Presiden Indonesia 2019.
Sejumlah indikator memperlihatkan penurunan dinamika demokrasi di Indonesia. Sebagai negara demokrasi ketiga terbesar dunia sejak 1999, Indonesia mampu melaksanakan pemilu nasional (legislatif dan presiden) serta pemilu lokal (kepala daerah) berjalan secara regular, lancar dan aman. Namun, dari satu pemilu ke pemilu berikutnya faktanya selalu saja muncul partai politik (Parpol) baru: yang merupakan pecahan parpol (induk) yang dilanda konflik dan perpecahan yang menunjukkan
ketidakharmonisan dalam praktik konsolidasi demokrasi Indonesia.
Tekanan Pemerintah
Turunnya indeks demokrasi di Indonesia telah
mengindikasikan adanya tekanan atau represi yang dilakukan oleh pemerintah. Minimnya kesehatan demokrasi jelas memperluas celah melakukan praktik korupsi. Relevansi penilaian ini dapat terlihat dari laporan Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) 2020 yang disusun lembaga riset Transparency International yang mengalami kemunduran karena maraknya praktik korupsi yang terjadi masa pandemi Covid-19.
Tiga negara dengan tingkat persepsi korupsi terendaha dalah Denmark, Selandia Baru dan Finlandia. Sementara peringkat terbawah ditempati oleh negara Sudan Selatan, Somalia, dan Suriah.
Sedangkan Indonesia yang tahun 2019 masih meraih skor 40 dan menempati ranking 85 dari 180 negara, harus turun anjlok 20 posisi ke peringkat
102, dengan skor 37. Maraknya korupsi yang dilakukan oleh sejumlah menteri negara Indonesia terkait bantuan sosial dan perizinan usaha
selama masa pandemi Covid-19 menjadi faktor yang turut menyebabkan rendahnya persepsi anti korupsi di Indonesia.
Selain korupsi, masalah kebebasan berpendapat pemerintahan Jokowi juga menjadi indikator penting dalam evaluasi mundurnya indeks
demokrasi di Indonesia. Penggunaan aparat sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah dalam menekan aspirasi masyarakat, dinilai semakin
masif dan membuat masyarakat akhirnya ketakutan dalam menyampaikan pendapatnya. Merujuk data survei Indikator Politik Indonesia (2020), tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap aparat keamanan negara menunjukan angka penurunan. Hasil survei menunjukan 57,7 persen masyarakat sepakat jika aparat keamanan semakin semena-mena dalam menangkap warga yang tak sejalan pandangan politiknya dengan pemerintah.
Ketakutan menyampaikan kritik merupakan imbas dari adanya pasal 45 UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait pencemaran nama baik. Juga pasal 45a dan 45b yang menjerat
pengguna media sosial Indonesia terkait penyampaian ujaran kebencian dan ancaman kekerasan telah menjadi momok yang serius dalam penguatan demokrasi Indonesia. Rasa takut mengkritik semakin memuncak tatkala sang pengkritik dihadapkan pada pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap penguasa. Padahal, dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 publik yang
memiliki keleluasaan dan kemerdekaan dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
Seharusnya pemerintah tak perlu terjebak dalam pemikiran dikotomis yang lebih menganggap kritik sebagai upaya mendelegitimasi pemerintahan yang sah, bahkan kritik sering dianggap sebagai tindakan
makar atau sikap pemberontakan. Hal-hal semacam ini jelas akan menyebabkan warna demokrasi Indonesia semakin terpuruk. Disinilah
pentingnya sikap keterbukaan demi memulihkan kepercayaan publik dan membangun pola komunikasi komprehensif antar masyarakat, presiden dan segenap lembaga pemerintahan.
Siapapun masyarakat yang ingin menyampaikan masukan dan juga kritik kepada pemerintah sejatinya tak harus dianggap sebagai kejahatan atau penghinaan. Melainkan harus dipandang sebagai bentuk wujud partisipasi dan pengawasan publik, sekaligus sebagai ekspresi perhatian dan wujud cinta masyarakat atas kebijakan pemerintah. Jika komunikasi ini diperbaiki maka kehidupan demokrasi Indonesia akan jauh berkualitas dan sejahtera.
====
Penulis Analis Nasional dan Direktur Jaringan Studi Indonesia.
=====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]