Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Dalam beberapa tahun terakhir, khususnya setiap kali menjelang peringatan Hari Pahlawan, setiap 10 November, selalu saja muncul opini yang menggugat kepahlawanan R A Kartini. Para penggungat itu, mengganggap Kartini tidak ideal diangkat sebagai pahlawan. Beberapa alasan yang dikemukakan antara lain, bahwa Kartini dinilai tidak konsisten dengan prinsipnya. Meski menentang tradisi “pingit” terhadap perempuan, namun Kartini tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri.
Ia justru menerima pinangan bupati Rembang, KRM. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah memiliki tiga istri. Padahal dalam surat-suratnya ia dengan tegas menolak perlakuan diskriminasi terhadap perempuan.
Selain itu, sejak menjadi istri sang bupati, cara pandang Kartini disebut-sebut berubah. Hal itu terjadi karena nyatanya ia mendapat perlakuan berbeda dari sang suami. Kartini tidak diperlakukan semena-mena, lazimnya perempuan di sekitarnya. Meski Kartini menganggap bahwa pernikahannya adalah pintu masuk untuk mewujudkan cita-citanya mendirikan sekolah bagi kaum perempuan, namun sikap tolerir yang dikesankannya dianggap sebagai keegoisannya. Apalagi kesempatan untuk melanjutkan studi di Eropa, harus ia batalkan, hanya karena ia akan menikah.
Hal itu dijelaskan aktivis perempuan dari Komunitas Rumah Perempuan, Arni Tamba kepada Medanbisnisdaily.com, Rabu (8/11/2017). Alasan-alasan itulah yang membuat sebagian masyarakat Indonesia menggugat kepahlawanannya. Tidak heran ada dugaan yang menuding surat-surat itu sebagai rekayasa atas perintah Belanda.
Terlepas dari dugaan-dugaan itu, menurut Arni, Kartini adalah seorang perempuan yang hebat di masanya. Sebelum dengung gender yang mengusung kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan, menular dari Eropa ke Indonesia, Kartini sudah lebih dulu meneriakkan hal itu. Ia banyak belajar dari kelompok-kelompok feminisme yang berkembang di benua biru itu, abad 18 lalu.
Bahkan saat masih berusi muda, Kartini sudah membaca bacaan-bacaan “berat”. Dan ia terinsipirasi dari Multatuli atau Max Havelaar, yang seorang Belanda namun berpihak pada pribumi. Ia memanfaatkan statusnya sebagai putri bupati untuk memudahkannya mengakses berbagai informasi dari berbagai media. Bacaan-bacaan itulah yang kemudian merangsangnya untuk mulai menulis.
Selain itu, membaca surat-surat Kartini yang banyak ditulis di akhir 1890-an, akan kita dapati kejernihan cara berpikirnya. Meski ditulis dalam tutur kata yang halus dan cenderung puitis, namun jiwa pemberontaknya begitu menggelora, kata Arni.