Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Meski sudah merdeka, namun Indonesia belum memiliki hukum acara perdata yang asli Indonesia dan disesuaikan zaman. Alhasil, proses sidang menjadi lama dan berlarut-larut. Aspek bisnis pun menjadi terbengkalai.
Seperti diutarakan pengacara dari PT Clemont Finance Indonesia, Damba S. Akmala. Saat ini ia sedang menangani perkara kliennya dengan tergugat terkait wanprestasi yang jika ditotal sekitar USD 915 ribu.
"Saya mendaftarkan kasus ini pada tanggal 28 April 2017," kata Damba S. Akmala, Jumat (10/11).
Proses sidang ternyata cukup lama. Pendaftaran perkara dari bulan April dan masih berlangsung sampai saat ini. Bila dihitung hingga inkracht, maka dibutuhkan waktu sedikitnya 18 bulan. Belum lagi proses eksekusi yang bisa berjalan bertahun-tahun.
Pihak tergugat hingga saat ini belum memiliki itikad baik untuk datang menghadiri persidangan dan pengadilan tak bisa berbuat banyak. Padahal, panggilan umum (koran) sudah dilayangkan, hal ini juga yang menjadi lamanya proses persidangan. Pangkal masalah adalah hukum acara yang masih berbelit.
"Saatnya hukum acara perdata direvolusi," kata Damba S. Akmala.
Contoh lain yaitu Kasus Supersemar yang sudah berjalan 10 tahun lebih, tetapi negara hanya menang di atas kertas. Hingga hari ini, putusan yang memenangkan rakyat belum bisa dieksekusi.
Mahkamah Agung (MA) sendiri sudah membuat hukum acara perdata yaitu maksimal 7 hari kerja sudah berkekuatan hukum tetap. Tapi sayangnya, aturan itu hanya berlaku bagi sengketa perdata dengan nilai di bawah Rp 200 juta dan para pihak masih dalam satu kabupaten/kota.
Soal lambannya proses perdata dan bisnis, sudah lama disuarakan banyak pihak. Pemicu lainnya karena tumpang tindihnya peraturan terkait. Oleh sebab itu, para pendekar hukum akan berkumpul di Jember akhir pekan ini untuk membahas hal tersebut. Regulasi diharapkan bisa mendorong investasi yang sehat, bukan sebaliknya.(dtc)