Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Harga tanah dari waktu ke waktu terus mengalami kenaikan. Terutama di wilayah yang ekonomi dan infrastrukturnya tumbuh pesat, harga tanah bisa melambung sangat tinggi. Kondisi tersebut terkadang membuat pengembang sulit memenuhi kelayakan hunian yang dibangun.
Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata mengaku, karena harga tanah yang terus mengalami kenaikan, membuat pengembang khususnya yang menengah ke bawah terpaksa membangun di wilayah pinggiran yang belum memiliki ketersediaan infrastruktur yang memadai seperti jalan, air bersih dan listrik.
"Memang kan kestabilan harga tahan semakin ke sini kan semakin mahal. Nah itu yang membuat juga pengembang yang menengah ke bawah mencari rumahnya jadi jauh-jauh," kata pria akrab disapa Eman kepada wartawan di Jakarta.
Karena pengembang memilih membangun rumah MBR di wilayah yang jauh itu, membuat persoalan baru muncul. Menurut Eman, jika pengembang membangun perumahan di daerah yang segala akses pendukung kehidupannya masih minim, membuat mereka kesulitan menyediakan fasilitas layak bagi penghuninya nanti.
"Itu jadi persoalan baru. Bagaimana listrik bisa mensuplai itu. Bayangkan, ada 5 km (jaraknya dari akses listrik), listrik nariknya saja sudah miliran ke situ tapi yang dilayani cuma 5 hektare, misalnya, kan itu jadi problem," paparnya.
Untuk istu, saat ini pihaknya bersama Kementerian PUPR tengah menyusun strategi untuk menjawab tantangan penyediaan rumah layak huni bagi MBR. Mau bagaimana pun, kendala-kendala tersebut bisa menghambat program sejuta rumah milik pemerintah.
"Itu yang sekarang lagi dipikirkan oleh PUPR (Kementerian PUPR) gimana caranya pengembangan lahan untuk MBR itu tidak jadi istilahnya urban sprawl," ujarnya.
Urban sprawl sendiri dapat diartikan sebagai pemekaran kota ke daerah-daerah di sekitarnya secara tidak terstruktur atau tertata dengan baik. Oleh karenanya, pihaknya bersama Kementerian PUPR tengah mencarikan solusi dari persoalan tersebut.
"Bagaimana caranya infrastrukturnya itu dikonsep sebuah infrastruktur nanti di sini secara bulat akan ada kawasan-kawasan rumah murah. Jadi tata ruangnya dibentuk. TOD (transit oriented development) salah satunya. Tapi ini urban sprawl supaya ada daerah pengembangan tertentu jadi pengembangannya nanti bukan bercak-bercak (berantakan) gitu, tapi bulat. Satu kawasan utuh" jelas Eman.
Dengan penataan kawasan yang baik, penyediaan infrastruktur akan lebih mudah dan lebih efisien. Misalnya penyediaan jalan, penyediaan listrik dan penyediaan air bersih. Semuanya akan lebih mudah disediakan bila kawasan pemukiman dikembangkan secara terintegrasi dan tidak terpencar-pencar.
Dia mencontohkan, misalnya bisa dibangun suatu wilayah dengan konsep yang terstruktur dan tertata dengan baik. Jadi di wilayah tersebut dipastikan berapa porsi lahan untuk hunian MBR dan berapa untuk hunian komersial. Dari situ, diharapkan MBR bisa mendapatkan rumah yang layak buat dihuni.
"Nanti di situ untuk MBR-nya berapa persen misalnya 30% lahan untuk MBR. Nah di situ lah. Jadi enggak berantakan ke mana-mana. Nah itu sekarang persolan baru yang harus kita pikirkan gimana caranya," terangnya.
"Dengan kebijakan tata ruang ini juga harus bisa dikendalikan. Makanya kan pemerintah membuat ide mengenai bank tanah itu. Saya sebenarnya tidak gitu paham dengan bank tanah. Nanti formulanya bagaimana dibangunkan pada swastanya. Misalnya pemerintah membebaskan tanah, di situ ditata ruangannya buat MBR. Harga tanahnya bisa dikontrol," tambahnya. (dtf)