Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Lembaga survei identik dengan pemilihan presiden di mana pun, termasuk Indonesia dan Amerika Serikat. Pada Pilpres Amerika Serikat tahun 2016, ada sebuah lembaga survei yang turut andil dalam kemenangan Donald Trump.
Lembaga tersebut bernama Cambridge Analytica yang disebut-sebut menggunakan big data atau 'data besar' dalam analisisnya. Lembaga ini pun dipakai dalam Pemilu di Kenya.
Trump meraih 276 electoral vote mengalahkan Hillary Clinton yang mendapatkan 218 electoral vote pada November 2016. Angka itu kemudian membuat Trump keluar sebagai Presiden AS terpilih dan menjabat hingga kini.
Cambridge Analytica dalam situs resminya mengungkap bagaimana mereka membantu pemenangan Trump. Mereka menyebut telah menganalisis jutaan poin data.
Salah satu strategi yang digunakan adalah bagaimana mengidentifikasi pemilih yang dapat dibujuk (persuadable voters) dan isu-isu yang para pemilih itu pedulikan. Cambridge Analytica kemudian mengirimkan 'pesan-pesan' yang berdampak pada sikap mereka.
"Dengan bantuan kami, kampanye Anda dapat memakai penargetan cerdas dan teknik pengiriman pesan canggih yang sama. Cambridge Analytica mengerahkan 3 tim yang terintegrasi untuk mendukung kampanye: riset, ilmu pengolahan data, dan pemasaran digital," tulis Cambridge Analytica dalam situsnya.
Mereka juga menegaskan, tim pengolah data mereka sekaliber PhD alias doktor. Para anggota tim juga telah berpengalaman di berbagai pemilihan presiden, kongres, hingga gubernur.
Untuk Pilpres AS yang dimenangkan Trump, Cambridge Analytica membuat polling di 17 negara bagian setiap harinya untuk keperluan riset. Mereka lalu memberikan laporan tiap akhir bulan yang menunjukkan hasil polling ke 1.500 responden dari tiap negara bagian setiap pekan.
Cambridge Analytica membuat 20 model olahan data yang dapat digunakan untuk memprediksi kebiasaan pemilih. Mereka mengklaim pola analisisnya mampu mengidentifikasi pemilih seperti apa yang bakal memilih Trump.
"Setiap kami mensurvei seseorang, kami cocokkan informasi mereka dengan data yang telah ada di database kami. Kami analisis apapun dari riwayat memilih mereka yang dikonversikan ke mobil-mobil yang mereka kendarai, kami mengidentifikasi kebiasaan yang berkolerasi pada keputusan memilih," papar Cambridge Analytica.
Komponen berikutnya adalah pemasaran digital. Cambridge Analytica berkolaborasi dengan puluhan teknologi periklanan untuk pengaruhi pemilih. Sebagai contohnya, kata mereka, jika ada orang yang peduli dengan kesehatan maka mereka akan dialihkan ke situs yang memaparkan program Trump soal kesehatan.
Komponen ini melibatkan sejumlah platform, termasuk media sosial, iklan situ pencarian, dan YouTube. Cambridge Analytica menyebut teknik yang mereka terapkan membuahkan hasil berupa kemenangan luar biasa atas Trump.
Selain Trump, Cambridge Analytica rupanya juga ambil peran dalam kemenangan Barisan Nasional di Malaysia. Koalisi tersebut menang telak pada Pemilu ke-13 di negara bagian Kedah, Malaysia. Namun Cambridge Analytica tak menjabarkan teknik yang mereka gunakan di Malaysia. Di situsnya, Cambridge Analytica juga memajang foto PM Malaysia Najib Razak yang juga ketua dari Barisan Nasional.
Lembaga ini pun berperan dalam Pemilu di Kenya. Mereka dikontrak oleh capres incumbent Uhuru Kenyatta pada Pilpres 2017. Hasilnya, Kenyatta kembali jadi Presiden Kenya.
BBC mengutip laporan koran lokal Kenya, The Star, yang menyebut Kenyatta telah mengontrak Cambridge Analytica. Harian tersebut bahkan menyebut lembaga survei itu berkantor di lantai 7 markas partai Kenyatta di Nairobi.
Namun Cambridge Analytica menolak berkomentar ketika dikonfirmasi BBC atas laporan tersebut. Sementara itu di situsnya, Cambridge Analytica menyatakan telah melakukan riset di Kenya pada Pemilu 2013.
Cambridge Analytica bekerja untuk The National Alliace (TNA) yang menaungi Kenyatta pada tahun 2013. Hasilnya, partai Kenyatta menang dengan perolehan 50,51%.
Lembaga itu pun dikabarkan turut andil dalam kemenangan kubu 'leave' pada referendum di Inggris tahun 2015 untuk menyatakan apakah Inggris bertahan (stay) atau meninggalkan (leave) di Uni Eropa. Hasilnya, Inggris keluar dari Uni Eropa.
Namun pihak lembaga yang berpusat di London, Inggris, itu membantah telah terlibat dalam referendum berjuluk 'Brexit' tersebut. Cambridge Analytica disebut-sebut bekerja sama dengan Leave.Eu, sebuah kampanye pro-Brexit yang digawangi oleh politikus dan pebisnis Inggris Arron Banks.
"Kami tidak bekerja dengan mereka," kata pejabat Cambridge Analytica, Alexander Nix, seperti dilansir The Guardians.(dtc)