Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Setelah 18 tahun menggunakan toga emas, Artidjo Alkostar akhirnya pensiun hari ini. Selama itu menjabat hakim agung, Artidjo banyak memegang perkara besar dan menarik perhatian publik.
Dalam catatan detikcom, Selasa (22/5/2018), salah satu perkara yang ditanganinya adalah kasus dengan terdakwa dr Bambang Suprapto. Delik yang dituduhkan kepada dr Bambang terjadi pada 25 Oktober 2007.
Di tingkat pertama, Dr Bambang bebas. Tapi oleh Artidjo dkk, dr Bambang divonis penjara 1,5 tahun karena terbukti tidak memiliki surat izin praktik saat menangani pasiennya, sesuai pasal 76 dan pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran.
Selidik punya selidik, pasal yang dipakai oleh Artidjo ternyata sudah dianulir Mahkamah Konstitusii (MK) pada 19 Juni 2007, atau jauh sebelum delik terhadap dr Bambang dilakukan. Dunia kedokteran dan jagat hujkum pun geger.
"Orang awam saja tidak bisa dibebaskan hanya karena dia tidak tahu (UU-red). Apalagi hakim agung. Tolol hakim agung seperti itu. Kamu tulis saja di detikcom. Hakim tolol. Hakim agung, ya nggak agung kalau begitu. Masa ada hakim agung yang nggak mengerti perkembangan hukum. Hakim itu menjalankan UU, tidak boleh bodoh. Masa ada yang tidak tahu undang-undang," kata mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menanggapi putusan tersebut kala itu.
dr Bambang akhirnya mengajukan PK dan dikabulkan. MA mengakui kekhilafan Artidjo karena menggunakan pasal yang sudah dimatikan MK.
"Ancaman pidana penjara dalam perkara a quo tidak sesuai dengan filsafat hukum pidana dan tidak sejalan dengan maksud Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 tentang perlindungan serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang emrupakan hak asasi," ujar majelis PK, Timur Manurung, HM Syarifuddin dan MD Pasaribu.
MA mengakui bahwa penjatuhan pidana selama 1 tahun dan 6 bulan penjara bertentangan dengan putusan MK Nomor 4/PUU-V/2007 tertanggal 19 Juni 2007. Alasannya, ancaman pidana penjara dan kurungan adalah tidak tepat dan tidak proporsional karena pemberian sanksi pidana harus memperhatikan perspektif hukum pidana yang humanistis dan terkait erat dengan kode etik. Ancaman pidana juga telah menimbulkan rasa tidak aman dan ketakutan sebagai akibat tidak proporsionalnya antara pelanggaran yang dilakukan dengan ancaman yang diatur dalam UU Praktik Kedokteran.
dr Bambang mengadukan kasus ini ke Komisi Yudisial (KY) dan hasilnya Artidjo diberikan rekomendasi sanksi berupa teguran.
Selain kasus di atas, dunia kedokteran juga sempat digegerkan oleh ketokan palu Artidjo Alkostar. Pangkalnya, Artidjo menjatuhkan vonis 10 bulan penjara kepada dr Ayu karena dinilai lalai saat mengoperasi pasien sehingga pasien meninggal dunia. Padahal kolega dr Ayu menilai dr Ayu dalam melakukan operasi caesar sudah sesuai prosedur.
Demo besar-besaran para dokter digelar di Jakarta dan seluruh penjuru Indonesia. Khusus di Jakarta, mereka menggeruduk Mahkamah Agung (MA).
Pada Februari 2014, MA menganulir vonis Artidjo itu. Majelis PK terdiri dari M. Saleh sebagai ketua majelis beranggotakan Surya Jaya, M. Syarifuddin, Margono, dan Maruap Dohmatiga Pasaribu. Dalam putusan PK tersebut, Surya Jaya berbeda pendapat dan sependapat dengan Artidjo yaitu dr Ayu bersalah. dtc