Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Dalam upaya penanganan banjir di Kota Medan, hal yang relevan untuk dibicarakan adalah pengelolaan daerah resapan air yang semakin berkurang. Pembangunan di kota yang berumur lebih dari empat abad ini mengabaikan lingkungan dan menimbulkan kerugian dalam skala yang tidak kecil.
Pengamat lingkungan Jaya Arjuna mengatakan, Kota Medan seharusnya menjadi kota yang layak huni. Desain kota berstandar Eropa sudah dibuat sejak zaman Belanda dan Pemerintah Kota Medan saat ini seharusnya bisa belajar. Upaya penanganan banjir di sungai dan drainase tidak efektif dan justru semakin buruk. Titik-titik banjir semakin meluas padahal secara topografis banjir bisa ditanggulangi jika serius.
Menurutnya, satu hal yang sering dilupakan adalah kawasan resapan. Medan, bisa terhindar dari banjir jika memiliki kawasan resapan yang cukup. Setiap kecamatan, seharusnya memiliki kawasan resapan, berupa embung atau situ sehingga luapan air bisa ditampungnya. Namun, dengan jumlah 21 kecamatan, menurutnya, tidak ada satupun yang memiliki embung.
Untuk memilliki embung, Pemerintah Kota Medan bisa membeli lahan untuk dijadikan embung. Fungsinya banyak. Selain sebagai penampung luapan air, juga bisa dijadikan sarana taman yang bisa dimanfaatkan masyarakat umum. Kebutuhan untuk menyirami tanaman juga bisa diambil dari embung tersebut. Seperti halnya di Taman Cadika, kata dia, harus ada di 21 kecamatan di Medan.
Jika setiap kecamatan memiliki embung, selain drainase dan sungai dalam kondisi baik, menurutnya banjir bisa dihindari. "Tapi saya katakan lagi, Pemerintah Kota Medan ini, belajar pun tak pandai. Pemko kan punya uang, beli tanah jadikan untuk embung, Rp 2 miliar, masa' tak bisa. Itu daripada ngorek sana ngorek sini. Itu bisa jadi penampung, taman bermain dan itu bisa menjadi penentu sebagai kota layak huni," katanya kepada medanbisnisdaily.com, Kamis (20/9).
Berkaca dari banjir yang di Jalan Dr Mansyur, seharusnya Universitas Sumatera Utara dan perguruan tinggi lainnya juga memiliki embung. Daerah persawahan juga merupakan area resapan air. Namun, sulit untuk dicegah dari pengalihan peruntukannya menjadi perumahan karena kepemilikan oleh perorangan. Kecuali pemerintah kota mau membelinya untuk dipertahankan menjadi kawasan resapan air.
"Jadi sebagai orang teknik aku berprinsip, kalau secara alamiah tidak bisa, maka teknologi yang dimajukan. KIta harus berhitung secara alamiah berapa, kalau tidak memungkinkan kita bawa teknologi," katanya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (Walhi Sumut) Dana Prima Tarigan mengatakan, harus ada upaya serius untuk mempertahankan daerah resapan air. Potret yang terjadi adalah, banyak area persawahan kini menjadi perumahan, seperti di Pasar I dan II, Padang Bulan dulunya adalah persawahan kini berubah. Sama halnya di Tanjung Sari juga demikian.
Pemko Medan selalu beradu argumen dengan masyarakat. Harusnya jangan. Ayo kumpul sama diskusikan ini. Jangan salahkan air hujan yang besar. Kalau orang Melayu bilang, tambah kopi tambah gula biar tak terlalu pahit. Jadi kalau disalahkan karena perubahan iklim parah, berarti persiapannya harus lebih baik," katanya.
Dia menilai, konsep pembangunan di Medan tampil dengan wajah 'membangunisme' yang tidak memedulikan aspek lingkungan. Masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai kerap disalahkan namun izin pembangunan di pinggiran hotel, spa, industri justru diberikan. "Kalau misalnya persoalan ada di sungai, it tetap tidak bisa dijadikan jastifikasi untuk menggusur masyarakat di situ. Saya rasa penegakan hukum itu kepada perusahaan besar itu dulu, masyarakat itu mencontoh kok," katanya.