Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2018 yang mengatur pelapor kasus korupsi dan suap bisa mendapat hadiah hingga Rp 200 juta. Anggota MPR Arsul Sani mengatakan PP ini membawa komplikasi-komplikasi lain seperti perlindungan saksi, sertifikasi LSM pelapor korupsi, dan pemberian hadiah.
"Karena itu PP ini memerlukan pengaturan-pengaturan lebih lanjut dari penegak hukum," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (12/10/2018).
Dalam diskusi Empat Pilar MPR dengan tema "PP No. 43 Tahun 2018 dan Tap MPR No. XI Tahun 1998, Sinergi Berantas Korupsi" di Media Center MPR/DPR Gedung Nusantara III Komplek Pafrlemen, Jakarta, hari ini (12/10), ia juga mengatakan PP ini bukanlah sesuatu yang baru.
PP No. 43 Tahun 2018 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 18 September 2018 merupakan pengganti peraturan yang dulu sudah ada, yaitu PP No. 71 Tahun 2000 tentang peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi. "Jadi ini bukan peraturan baru," tegasnya.
Menurut Arsul, PP ini memerlukan pengaturan-pengaturan lebih lanjut dari para penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Kalau tidak diatur, ia khawatir peraturan ini akan menimbulkan permasalahan. Misalnya, soal perlindungan fisik dari pelapor perseorangan.
"Ini belum diatur secara jelas dalam PP. Jangan sampai jiwa pelapor terancam. Ini harus diperhatikan," katanya.
Selain itu, Arsul juga meminta agar PP tersebut lebih dulu disosialisasikan kepada masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menghindari kesalahan penafsiran di masyarakat seperti dalam soal hadiah.
"Kalau sudah melaporkan kasus korupsi bukan berarti langsung mendapat hadiah. Hadiah baru diberikan jika ada proses hukum dan pengembalian kerugian negara. Hadiah itu baru bisa diberikan. Masyarakat juga perlu mengetahui hal ini," jelasnya.
Arsul juga memperkirakan dengan keluarnya PP No. 43 Tahun 2018 ini akan mendorong lahirnya banyak lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang pemberantasan korupsi. Karena itu, ia juga meminta agar peraturan lebih lanjut terkait PP ini juga mengatur tentang akreditasi LSM.
"Jangan sampai ada LSM yang kerjanya hanya melapor kasus korupsi demi mendapatkan hadiah seperti dijanjikan dalam PP itu," ujarnya.
Sementara itu, diskusi Koordinatoriat Wartawan Parlemen yang bekerja sama dengan MPR ini juga menghadirkan pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.
Ia sependapat dengan Arsul Sani dalam hal risiko yang ditanggung pelapor. "Dalam pelaporan itu ada tiga hal penting, yaitu peran aktif, kualitas laporan, dan risikonya," ujarnya.
Abdul juga mengungkapkan hadiah maksimal Rp 200 juta hanyalah seperseribu dari kasus korupsi senilai Rp 200 miliar. Menurutnya, pelapor tetap hanya akan mendapat Rp 200 juta meski telah melaporkan kasus korupsi yang bernilai di atas 200 miliar bahkan triliunan seperti kasus e-KTP.(dtc)