Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Persoalan gratifikasi seks mencuat, tetapi urusan pembuktiannya dianggap berat. Namun bagi KPK, keruwetan pembuktian gratifikasi seks itu kasuistis.
"Kalau bicara gratifikasi, objeknya bisa uang, bisa barang, potongan harga, dan lainnya. Artinya, ketika bisa dibuktikan pemberian atau fasilitas atau layanan seksual itu diberikan kepada penyelenggara negara dan ada hubungan jabatan antara pihak pemberi dan penerima, maka dapat ditelusuri lebih lanjut menggunakan Pasal 12B (Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), yakni gratifikasi, atau Pasal 11 yang masuk suap pasif," ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (31/1/2019).
Namun, terkait Pasal 12B tersebut, Febri mengatakan ada klausul pelaporan 30 hari kerja. Artinya, menurut Febri, pihak penerima gratifikasi tersebut akan bebas dari ancaman pidana apabila melaporkan penerimaan gratifikasi itu ke KPK sebelum 30 hari kerja.
"Terkait dengan teknis hukum itu, harus dilihat secara kasuistis, tidak bisa diuraikan kesulitannya di sini, kesulitannya di sana karena setiap kasus punya tingkat kesulitannya sendiri untuk pembuktian," ucap Febri.
"Namun yang harus dibuktikan adalah apakah benar ada penerimaan atau tidak," imbuhnya.
Selain itu, Febri menyebut yang harus dilihat dari dugaan gratifikasi adalah relasi jabatan antara pemberi dan penerima. Sebab, dalam Pasal 12B tersebut, pemberian itu akan dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Lalu sejauh ini apakah pernah KPK mengindikasikan atau menerima laporan adanya gratifikasi seks?
"Seingat saya belum ada ya karena untuk pasal gratifikasi yang kami gunakan sejauh ini adalah penerimaan uang terkait proyek, penerimaan uang terkait pengisian jabatan," ucap Febri.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata berbicara tentang penerima gratifikasi seks yang seharusnya bisa dijerat. Apalagi, kata Alexander, pemberian gratifikasi seks itu terkait dengan wewenang si penerima.
"Mestinya itu bisa dijerat sebagai gratifikasi, apalagi kalau dalam pemberian itu ada sesuatu yang diberikan oleh penerima gratifikasi itu, misalnya dengan menyalahgunakan wewenang, pemberian izin, dan seterusnya," kata Alexander, Rabu (30/1).
Pendapat Alexander itu pun diamini oleh sejumlah pakar hukum, misalnya Prof Hibnu Nugroho. Guru besar hukum acara pidana dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) ini menilai yang menjadi hambatan dalam mengusut gratifikasi seks adalah pembuktian, yang disebutnya butuh kerja keras dari penegak hukum.
"Hukum kan bicara bukti. Ini yang menjadi tantangan penegak hukum. Paling tidak bukti-bukti materiil harus ditemukan. Butuh kerja keras penegak hukum untuk membuktikannya," kata Prof Hibnu.
Pembuktian gratifikasi seks itu sulit, menurut pakar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Ganjar Laksmana, karena berkaitan dengan pembuktian hubungan seksnya. Meski demikian, Ganjar yakin gratifikasi seks tetap dapat dijerat pidana.
"Kalau dibilang gratifikasi seks, harus terbukti mereka melakukan hubungan seks," ucap Ganjar. dtc