Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Mengutip Pernyataan Anggota Bawaslu Republik Indonesia Ibu Ratna Dewi Pettalolo “Penegakan hukum pemilu kami anggap sebagai mahkotanya Bawaslu, tentu Bawaslu tidak ingin mahkota tersebut jatuh karena penegakan hukum pemilu yang dianggap tidak adil” .
Dalam Undang–Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, diatur secara tegas tugas dan wewenang Bawaslu. Terkhusus dalam proses penanganan terkait pelanggaran pilkada yang merupakan proses penegakkan hukum pemilihan diatur dalam pasal 30 Point b, yaitu menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilihan dan point c menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran pemilihan dan sengketa pemilihan yang tidak mengandung unsur tindak pidanaa.
Kewenangan ini juga diatur dalam Pasal 476 sampai Pasal 487 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah diatur bagaimana mekanisme penanganan tindak pidana dalam Pemilu, mulai dari tata cara penanganan dan majelis khusus tindak pidana pemilu, sampai sentra penegakan hukum terpadu (Sentra Gakkumdu). Dalam UU No 7 Tahun 2017 pula, terdapat tidak kurang dari 67 pasal yang memuat ketentuan pidana pemilu, jauh lebih banyak dibandingkan UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 10 Tahun 2016 yang hanya memuat 22 pasal ketentuan pidana.
Atas perintah Pasal 486 ayat (11), Bawaslu menetapkan Peraturan Bawaslu No. 9 Tahun 2018 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu yang kemudian diganti dengan Perbawaslu No. 31 Tahun 2018, sebuah wadah yang pembentukannya menurut Pasal 486 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 dimaksudkan untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilu 2019 antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan.
Penegakan Hukum pada bawaslu sudah memiliki dasar hukum yang kuat baik itu di dalam UU No.10 Tahun 2016 maupun didalam UU No.7 Tahun 2017 sehingga bawaslu memiliki kewenangan yang mutlak dalam melakukan tindakan penanganan pelanggaran dalam upaya penegakan hukum pada pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020.
Di dalam Penegakan Hukum Pemilihan dalam UU nomor 10 tahun 2016 ada beberapa pelanggaran pemilihan yang menjadi kewenangan bawaslu ataupun panwaslu kecamatan antara lain yaitu kesatu, pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu (PKEPP) yaitu Pelanggaran yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu terhadap etika penyelenggara Pemilihan yang berpedoman pada sumpah/janji. Obyek sengketa nya berkisar tentang kebijakan dan sikap yang diambil penyelenggara pemilihan, yang menjadi pengadil dalam pelanggaran kode etik adalah Dewan Keormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk penyelenggara yang bersifat badan, namun untuk penyelenggra ditingkat Adhoc bisa diputuskan pada lembaga satu tingkat di atasnya.
Kedua, Pelanggaran Administrasi Pemilihan yaitu Pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilihan dalam setiap tahapan, diluar tindak pidana pemilihan dan pelanggaran kode etik penyelenggara. Proses penanganannya adalah Bawaslu provindi/kabupaten/kota/Panwaslu Kecamatan menerima/menemukan, memeriksa, memutus maksimal 3 hari dan tambahan 2 hari yang diperuntukan hanya untuk mengambil penambahan keterangan. KPU Prov/Kab/Kota/PPK wajib menindaklanjuti hasil rekomendasi Bawaslu provindi/kabupaten/kota/ Panwaslu kecamatan dalam waktu 7 hari.
Ketiga, Sengketa Pemilihan Sengketa yang terjadi antar peserta Pemilihan, antara peserta dengan penyelenggara Pemilihan. Obyek sengketanya jeputusan KPU provinsi/kabupaten/kota, pengadunya peserta Paslon yang telah mendaftar. Hal ini mutlak kewenangan yang dimiliki oleh Bawaslu, panwaslu kecamatan tidak memiliki kewenangan dalam melakukan penyelesaian sengketa namun bisa diberikan kewenangan melalui Bawaslu kabupaten/kota melalui surat mandat. Kewenangan yang dimiliki panwaslu kecamatan berdasarkan surat mandate bawaslu kab/kota hanya terbatas di penyelesaian sengketa cepat tidak melalui proses ajudikasi.
Keempat, Tindak Pidana Pemilihan, Pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan Pemilihan, obyek pelanggarannya adalah hal-hal yang melanggar peraturan perundang-undangan Pemilihan dan melawan hukum serta peraturan perundang-undangan secara umum. Pelapornya Peserta Pemilhan, Pemantau, Masyarakat yang sudah memiki hak pilih di daerah yang melakukan pemilihan, Bawaslu dan Panwaslu kecamatan. Terlapornya Peserta dan Penyelenggara.
Problematika Bawaslu dalam Penegakan Hukum
Dalam peneggakan hukum Bawaslu tidak berdiri sendiri terkhusus dalam pelanggaran pidana pemilihan, dalam proses penegakan hukum pidana pemilihan dibentuk suatu lembaga khusus yang terdiri dari Bawaslu, Kepolisian dan kejaksaan yang disebut (Sentra Gakkumdu). Dalam UU No.10 Tahun 2016 sudah diatur didalam Pasal 152 (1) yang bunyinya Untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilihan, Bawaslu Provinsi, dan/atau Panwas Kabupaten/Kota, Kepolisian Daerah dan/atau Kepolisian Resor, dan Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri membentuk sentra penegakan hukum terpadu. (2) Sentra penegakan hukum terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melekat pada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Panwas Kabupaten/Kota.
Dengan tidak diberikannya kewenangan tunggal kepada bawaslu dalam melakukan proses penindakan pelanggaran pidana ini tentu sangat menghambat proses penegakkan hukum yang ada dibawaslu dan jajarannya. Ditambah lagi dengan waktu penyelesaian sangat singkat hanya tiga hari dan ditambah dua hari hanya untuk menambah keterangan tentu ini sangat singkat. Dengan waktu yang sangat singkat ini Bawaslu dituntut untuk melakukan sepemahaman dengan lembaga yang tergabung didalam sentra gakkumdu seperti kepolisian dan kejaksaan yang tentu memliki pemahaman dan pandangan hukum yang berbeda-beda. Situasi inilah yang bisa saja menghambat proses penegakkan hukum pada pilkada nantinya terkhusus pada penegakkan hukum pelanggran pidana karena situasi ini sangat memperpanjang birokrasi administrasi pada proses penegakkan hukum pemilihan.
Penutup
Publik butuh kepastian hukum, bukan dramatisasi elit politik dengan cara memainkan opini dan celah hukum yang dapat menimbulkan kekacaubalauan tahapan pelaksanaan pemilu. Ketegasan Bawaslu membawa kasus-kasus pelanggaran pemilu kepada penegak hukum harus diapresiasi dan menjadi langkah awal yang baik yang harus diikuti langkah serupa secara konsisten. Meskipun diakui masih ada kelemahan yang secara substansial perlu diperbaiki. Tujuannya adalah agar pilkada nanti berjalan lancar dan bebas sesuai dengan asas asas penyelenggaraan pemilu. Jika ketidakadilan dan diskriminasi masih terjadi dengan mengabaikan asas semua sama dihadapan hukum (equality before the law), maka jarak antara hukum dan praktik pemilu makin terjal dan berliku, sehingga evaluasi menyeluruh terhadap proses penyelenggaraan pemilu menjadi penting untuk dilakukan.
Penulis Direktur Pusat Kajian Politik dan Hukum (PKPH) Sumatera Utara yang juga saat ini menjabat Ketua Panwaslu Kecamatan Medan Timur.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]