Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Belum ada data sahih tentang bagaimana perasaan anak ketika kembali ke sekolah setelah liburan usai. Hanya, kita bisa menebak bahwa dominan siswa merasa gagap, takut, bahkan stres. Itu terlihat gamblang ketika siswa menyambut hari libur. Dua-tiga pekan sebelum hari libur tiba, hari-hari bahkan sudah dihitung. Artinya, siswa sangat bersemangat menyambut hari libur, tetapi malah berkeluh kesah manakala menyambut hari sekolah. Dengan ucapan lain, sekolah tak ubahnya ibarat penjara, sementara hari libur ibarat hari kemerdekaan
Itu dapat kita rujuk pada puisi Joko Pinurbo berjudul “Liburan Sekolah”: Ini malam terakhir liburanku/ Rasanya sekolah sudah merindukanku./ Kesempatan membongkar tas sekolahku yang penuh/ dengan ribuan kata-kata pemberian ibu dan bapak guru. Pada puisi itu, siswa diposisikan sama sekali tidak aktif. Siswa tak rindu sekolah, justru sekolah yang rindu pada siswa. Siswa menganggap tas sekolah sebagai beban yang penuh, bukan referensi keilmuan yang paripurna. Tas yang penuh itu adalah pemberian bapak/ibu guru, bukan pencarian dari siswa. Secara ringkas dapat disebut bahwa kembali ke sekolah adalah kembali terkurung.
Beda dengan anak yang akan memasuki usia sekolah. Mereka sangat bersemangat ke sekolah. Wajah mereka berbinar-binar. Bahkan, sebelum dibelikan seragam, mereka sudah berlagak seperti siswa: memakai sepatu kakaknya, menyandang tas, mencorat-coret buku. Mereka bermimpi: kapan aku sekolah, seperti kakak, mengenakan seragam ini, mengisi tasku dengan buku-buku, lalu mencorat-coretnya dengan senang hati? Maka itu, sehari sebelum sekolah, perasaan calon siswa sangat berbunga-bunga. Dia berangkat dengan semangat.
Yang menjadi pertanyaan tentu adalah, mengapa setiap anak kecil sangat mendamba-dambakan untuk segera bersekolah, lalu selekasnya malah mendadak takut, bahkan muak ke sekolah? Ada apa dengan sekolah kita sehingga pada peristiwa pertama kali begitu dirindukan, lalu pada perisitiwa kedua kali dan seterusnya, justru dihindari? Apakah sekolah kita ibarat fatamorgana: dari kejauhan adalah danau yang indah, tetapi setelah dekat hanyalah kerikil-kerikil gersang dan berdebu? Apakah sekolah kita ibarat rumah sakit yang bangunannya indah dari luar, tetapi penghuninya adalah orang-orang sekarat?
Masa depan negara ini sejatinya ada pada sekolah. Periksalah daftar negara-negara maju dengan cermat. Negara maju dan sejahtera sudah pasti adalah negara yang pendidikannya maju lebih awal. Artinya, jika anak bangsa ogah ke sekolah, maka pada saat itu kita harusnya khawatir bersama. Sebab, itu artinya, kita ibarat tak punya masa depan. Karena itu, menjadi tanggung jawab kita bersama agar menghadirkan oase ke siswa, bukannya fatamorgana. Ini agar siswa kita tidak hanya jatuh cinta pada pandangan pertama, lalu dendam pada pandangan selekasnya. Ini agar siswa kita gemar dan ketagihan ke sekolah.
Maka itu, menjadi bahan pemikiran kita bersama bagaimana membuat anak betah di sekolah, bukan bête. Bagaimana caranya? Yang paling pokok yang harus kita pikirkan adalah bahwa manusia pada umumnya tak suka tekanan, tetapi suka tantangan. Tekanan dan tantangan adalah dua hal yang saling memunggungi. Tantangan akan membuat seseorang penasaran dan ingin merasakan sendiri sehingga rasio dan nalurinya ikut berkembang dengan sendirinya. Sementara itu, tekanan akan membuat siswa menghindar agar tak ikut merasakan sehingga rasio dan nalurinya menciut.
Itu sudah diungkapkan Daniel Coleman dalam sebuah penelitiannya: bahwa orang yang berada pada tekanan, rasionya akan terkungkung. Ini sesederhana ketika kita mendaki gunung. Meski medannya sulit, kita pasti tertantang untuk mendaki: ikut merasakan. Sebaliknya, jika kita disuruh menghafal nama-nama setiap gunung, bahkan kalau tak hafal, maka akan dihukum, kita akan depresi. Alih-alih mengenal dan merasakan aura gunung, mengenal namanya saja kita sudah kewalahan. Jika pun hafal, pengertian gunung itu bagi kita sangat dangkal.
BACA JUGA: Sebab Bagi Milenial Rumah Juga Tempat Kerja
Tentu saja pengertian gunung bagi mereka yang mendaki pasti berbeda dengan mereka yang hanya menghafal nama-nama gunung. Karena itulah, seperti dikatakan Iwan Pranoto, bahwa sebaiknya sekolah itu ibarat agen wisata: guru sebagai pemandu wisata dan murid belajar sebagai kegiatan berwisata. Jika itu terjadi, lanjut Pranoto, sejumlah hakikat luhur pendidikan akan muncul dengan sendirinya. Sebab, memaknai sekolah sebagai agen wisata dengan sendirinya juga akan membebaskan siswa berkembang sesuai bakat alamnya.
Setiap siswa tentu berbeda. Meski wisata adalah bakat universal, tetapi setiap siswa tentu punya bakat wisata bawaan yang bersifat pribadi. Ada yang suka memanjat gunung, ada yang suka mengitari sungai, ada yang suka mengamati arsitektur kuno, dan sebagainya. Di sinilah pemandu wisata tak bisa memaksakan topik wisata tertentu kepada wisatawan. Biarkan wisatawan memilih objek wisatanya. Pemandu hanya perlu memetakan jalur-jalur: mana daerah terlarang, mana area berbahaya, mana titik yang penuh tantangan.
Dengan kata lain, sekolah bukan pabrik, guru bukan karyawan, dan siswa bukan barang produk. Harus disadari, mengapa anak kecil untuk pertama kali begitu ingin bersekolah adalah karena mereka ingin berwisata sesuai dengan imajinasinya. Namun, karena pada akhirnya di sekolah mereka ibarat barang yang ditempa, bahkan ibarat sosok yang menjadi tukang catat, tukang dengar, tukang tiru, mereka pun menjadi jenuh. Pada akhirnya, mereka muak ke sekolah sehingga satu-satunya yang ditunggu pada masa sekolah adalah bel terakhir.
Referensi sekolah dicukupkan sebatas membuat bodoh menjadi pintar atau dari kosong menjadi berisi. Siswa diibaratkan sebagai kertas kosong atau celengan yang harus diisi guru (banking concept of education). Padahal, anak bukanlah pribadi yang kosong. Anak hanya butuh panduan bagaimana berwisata dengan aman meski penuh marah bahaya dan tantangan. Pikiran bukan bejana untuk diisi, tapi api untuk dinyalakan, demikian kata Plutarch.
Karena itu, mari membuat sekolah kita menjadi sekolah penuh tantangan, bukan tekanan. Kita sudah punya modal yang bagus di mana setiap anak selalu ingin bersekolah secepat-cepatnya. Tugas kita hanya membuat bagaimana anak itu jika sudah menjadi siswa kelak betah, bahkan rindu ke sekolah. Jika tidak, jika sekolah kita sebatas referensi dari bodoh ke pintar, kosong ke berisi, bahkan ibarat barang produk, pada saat itulah, seperti kata John Holt dalam bukunya How Children Fail, anak kita akan gagal justru akibat “ulah” sekolah itu sendiri. Miris!
====
Penulis Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul/Aktif di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan di Toba Writers Forum
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]