Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pendidikan di Finlandia disebut-sebut sebagai salah satu yang terbaik di dunia dan membuatnya menjadi salah satu rujukan bagi banyak negara termasuk Indonesia. Sekitar dua bulan lalu, saya ikut seminar daring membahas topik belajar menyenangkan ala Finlandia dengan narasumber dan moderator yang berkecimpung langsung dalam pendidikan di sana.
Sistem/kebiasaan belajar yang diterapkan di negara kita ternyata memang sangat berbeda dengan Finlandia. Ratih Adiputri, peneliti sekaligus penulis buku “Sistem Pendidikan di Finlandia: Catatan dan Pengalaman Seorang Ibu” menyampaikan beberapa hal di antaranya.
Cara belajar di Finlandia terkesan lebih santai namun berkualitas. Kepercayaan yang tinggi; orang tua percaya pada guru dan guru percaya pada murid-murid. Guru yang berkualitas dan kompeten, minimal berpendidikan S-2. Adanya kesempatan yang sama untuk semua termasuk imigran. Ujian nasional hanya di tingkat menengah (setingkat SMA).
Sistem belajar ala Finlandia juga menyenangkan. Guru selalu berusaha memotivasi sesuai karakter dan perkembangan anak. Sistem penilaian tidak hanya dari mata pelajaran saja tetapi juga dari karakter. Siswa mau belajar, bukan dipaksa. Siswa sadar akan tugasnya, guru dan orang tua hanya memfasilitasi. Penekanan juga dalam olah raga, seni, musik, bahasa dan agama.
Hal berbeda terjadi dalam sistem pendidikan dan cara belajar di negara kita yang terlalu terobsesi dengan nilai dan rangking. Akibatnya, secara otomatis terbentuk hierarkhi dan stereotip bahwa pintar berarti hebat. Masih ada kesenjangan; sekolah berkualitas hanya untuk yang mampu. Apresiasi juga lebih diberikan pada mata pelajaran bahasa Inggris dan matematika.
Namun, Ratih juga memberikan beberapa refleksi kritis tentang “kelemahan” sistem belajar Finlandia. Salah satu hal sederhana, cara menyapa orang tua yang tidak sesuai dengan budaya kita alias tidak sopan. Di sana, anak bahkan bisa memanggil nama orang yang lebih tua. Cara belajar yang fun juga secara tidak langsung membuat tidak adanya rasa kompetisi, maka sulit menjelaskan arti kerja keras dan perjuangan. Terakhir, karakter individualistik.
Dengan demikian, kita membutuhkan dan masih harus mencari sistem pendidikan yang benar-benar sesuai dengan karakter dan budaya bangsa kita.
Merdeka belajar
Kritik terhadap cara belajar sekaligus sistem pendidikan kita sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Kita sendiri mungkin pernah mengalaminya. Belajar seperti sebuah beban dan jauh dari rasa menyenangkan.
Belajar berarti harus bisa mengikuti semua beban mata pelajaran yang diberikan agar tidak mendapat nilai jelek saat ulangan. Nilai jelek dianggap identik dengan bodoh. Menghafal seolah menjadi satu-satunya cara terbaik untuk memahami pelajaran. Nyaris tidak ada kesempatan untuk menemukan minat dan bakat yang sesungguhnya. Belum lagi beban menghadapi ujian dan syarat nilai kelulusan yang harus dipenuhi.
Demi sebuah predikat kelulusan, sebenarnya bukan hanya siswa itu saja yang mengalami tekanan. Orangtua, guru, dan sekolah pun harus memikul beban yang sama. Alhasil apapun cara terpaksa ditempuh, sampai aksi paling konyol yaitu kecurangan.
Maksud hati membuat pemetaan keberhasilan penyampaian materi pendidikan, ujian nasional seketika berubah menjadi “monster” paling menakutkan ketika ia menjadi satu-satunya alat ukur penentu kelulusan.
Para guru juga terbelenggu oleh berbagai kewajiban-kewajiban yang sifatnya prosedural administratif. Banyak waktu yang habis terbuang. Para guru sudah sangat sibuk sampai-sampai tidak punya waktu lagi untuk memikirkan bahkan menerapkan metode dan ide kreatif yang bisa dilakukan untuk memacu semangat belajar para siswa.
Konsep merdeka belajar yang digagas Kemendikbud menjadi harapan untuk sedikit demi sedikit mengurai benang kusut masalah pendidikan kita. Konsep yang terinspirasi dari ajaran Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara ini mengandung makna filosofis mendalam, yakni mengajarkan semangat dan cara mendidik anak untuk menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirnya, dan merdeka tenaga.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud Ade Erlangga mengatakan, tujuan merdeka belajar adalah agar para guru, siswa, serta orang tua bisa mendapat suasana yang bahagia. Dengan kata lain, merdeka belajar ingin menciptakan suasana/iklim pendidikan yang membahagiakan. Bahagia buat siapa? Bahagia buat guru, bahagia buat peserta didik, bahagia buat orang tua, untuk semua umat.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menjelaskan ada empat pokok kebijakan dalam konsep merdeka belajar. Pertama, mengembalikan USBN sesuai esensi dan semangat UU Sisdiknas. Kedua, menghapus Ujian Nasional (UN) mulai tahun 2021 dan diganti dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. Asesmen juga dilakukan tidak di akhir melainkan di tengah jenjang agar memberikan waktu bagi semua unit pendidikan untuk melakukan perbaikan.
Ketiga, mengembalikan esensi sekaligus penyederhanaan penyusunan RPP (Rencana Pelaksanaan Pelajaran) bagi para guru. Keempat, adanya kompromi/kelonggaran pada sistem zonasi dalam rangka mengembalikan semangat pemerataan pendidikan untuk semua.
Namun satu hal yang harus diingat, semua perubahan pasti akan menghadapi tantangan. Perubahan salah satunya bermakna mengubah sesuatu hal yang sudah pakem dan biasa. Semua pihak butuh kesungguhan agar bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri. Bila sudah menjadi kebijakan, memang sudah seharusnya dilaksanakan.
Kita sudah lama merindukan pembenahan secara radikal dalam cara belajar dan sistem pendidikan. Menjadikan proses belajar benar-benar menjadi pembelajaran yang membahagiakan. Tidak membuat elemen-elemen pendidikan kita menjadi kaku, stres dan ketakutan. Proses belajar yang membahagiakan akan mendorong semua pihak berusaha menjadi insan yang mandiri dan kreatif. Ini yang seharusnya menjadi budaya baru bagi sistem pendidikan kita.
Proses belajar juga tidak boleh diskriminatif. Indonesia adalah negeri yang sangat luas dengan keanekaragaman budaya yang luar biasa. Pendidikan juga harus bisa masuk ke sana. Kurikulum pendidikan sudah semestinya menyesuaikan sehingga bisa diterima oleh kebiasaan dan budaya setempat.
Beberapa inisiatif sudah ada dan patut dicontoh. Di Jambi, kita mengenal Sokola Rimba, yaitu sistem belajar yang dikembangkan oleh salah satu lembaga nonpemerintah untuk menjangkau warga yang tinggal di pedalaman hutan. Saya yakin, di daerah-daerah lain pun mestinya sudah banyak inisiatif pendidikan berbasis lokal yang patut menjadi perhatian.
Akhirnya, penting menjadikan setiap elemen pendidikan menjadi orang-orang merdeka dalam belajar agar muncul kesadaran dan daya kreatif yang berguna untuk masa depan. Kebijakan merdeka belajar ini memang harus dikawal dan dilaksanakan dengan sungguh agar berjalan sesuai tujuan yang diharapkan. Bila sudah merdeka, maka kita bahagia. Pendidikan memang harus membahagiakan.
====
Penulis adalah Alumnus FISIPOL USU, bekerja sebagai ASN di Jambi.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]