Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Tidak terasa, sudah 6 bulan berlangsung sejak Covid 19 dinyatakan sebagai pandemi, dan Indonesia sudah memasuki masa new normal sebagai tahapan untuk penyesuaian dalam berbagai bidang kehidupan. Tidak dapat dipungkiri, dampak ekonomi sangat terasa, dimana banyak warga kehilangan pekerjaan atau sumber mata pencaharian. Banyak usaha yang sempat terhenti beroperasi selama beberapa bulan, misalnya berbagai usaha mikro, pusat perbelanjaan, hotel, bisnis travel, dan lainnya. Saat ini, di masa new normal, geliat ekonomi telah kembali pulih, walau beberapa bidang usaha masih belum bisa beroperasi.
Terjadi berbagai dampak psikologis selama masa pandemi ini. Di awal masa pandemi, kesimpangsiuran informasi tentang apa, kapan dan bagaimana penyebaran virus Covid-19 menyebabkan kepanikan dan kecemasan di kalangan masyarakat yang ditunjukkan dengan panic buying atas berbagai kebutuhan sehari-hari, masker, handsanitizer, dan bahan lainnya, meskipun harganya mencapai kenaikan mencapai sekitar 5 kali lipat.
Kebijakan pemerintah agar masyarakat bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah dari rumah, membuat masyarakat menghabiskan banyak waktu di rumah. Bagi para pelajar dan mahasiswa, hal ini membawa nuansa baru, namun di sisi lain berpotensi menimbulkan kegelisahan psikologis. Mereka dituntut untuk belajar mandiri, dengan segala keterbatasan yang ada dari pembelajaran online.
Ada yang dapat bertahan dan beradaptasi dalam situasi belajar sepert ini, tapi tak sedikit juga yang akhirnya malah menunjukkan performa akademik yang buruk. Masalah terkait jaringan yang buruk, kuota internet yang buruk, kurang sarana buku atau sumber referensi, kurang aktifnya guru atau dosen dalam proses pembelajaran online, serta kurangnya kapasitas diri untuk mengelola belajar secara mandiri merupakan hal-hal yang menimbulkan stres pada pelajar dan mahasiswa.
Bagi siswa usia kanak-kanak, belajar dari rumah menuntut keterlibatan orang tua yang lebih intensif, karena ketidakhadiran guru secara langsung dalam mendampingi siswa. Hal ini menjadi salah satu sumber stres bagi orang tua, ditambah masalah ekonomi, pekerjaan, relasi dengan pasangan atau masalah kesehatan. Orang tua dituntut menjalankan peran guru di rumah bagi anak-anaknya. Situasi ini masih akan berlangsung selama beberapa waktu ke depan, diprediksi sampai dengan tahun depan.
Hingga hari ini, kita sebagai pribadi, keluarga, dan bangsa, bisa bertahan. Tidak hanya bertahan, bangsa kita mengalami pertumbuhan dari situasi ini. Bisa kita lihat, muncul berbagai inovasi-inovasi berbasis teknologi yang berbeda dari sebelumnya. Kini, kita dapat mengikuti seminar, pelatihan, rapat, dan pertemuan lainnya tanpa harus mendatangi tempat penyelenggaraan kegiatan, namun melalui ruang-ruang pertemuan online, seperti zoom meeting, skype, googlemeet, dan lainnya. Berbagai bisnis online muncul dengan banyak variasi dalam tawaran produk barang ataupun jasa. Hal ini menunjukkan, bahwa sebagai bangsa, mampu bangkit dari situasi sulit, hal ini mengindikasikan suatu kapasitas psikologis yang disebut dengan resiliensi.
Resiliensi
Berbagai penelitian tentang resiliensi diawali dari pendekatan penelitian terhadap orang-orang dengan latar belakang hidup yang sulit dan tidak diharapkan, seperti anak-anak dengan kondisi beresiko tinggi yang mengalami trauma dikarenakan kekerasan fisik, verbal, maupun seksual. Dengan situasi latar belakang tersebut, diprediksi akan menghambat penyesuaian dirinya kelak dalam perkembangan hidupnya. Namun, ditemukan bahwa dari antara mereka, ada anak-anak yang justru tidak mengalami kondisi penyimpangan dalam perkembangannya, namun menunjukkan kualitas-kualitas diri yang positif.
Hal ini membawa pada pergeseran paradigma, bahwa di balik situasi sulit, dapat tumbuh kualitas positif, seperti ketekunan, kesabaran, kemampuan pemecahan masalah. Dengan kata lain, ada sisi positif atau hal positif yang muncul dari situasi yang sulit. Hal inilah yang disebut dengan resiliensi.
Dalam perspektif ilmu psikologi, resiliensi adalah kemampuan atau kapasitas psikologis yang dimiliki oleh individu atau suatu kelompok/komunitas yang memungkinkannya untuk mampu menghadapi dan mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Dengan kata lain, resiliensi merupakan kemampuan untuk meminimalkan dampak buruk dari peristiwa-peristiwa negatif atau masalah yang dihadapi (Prihastuti, 2011).
Bagi individu yang resilien, dalam menanggapi kesulitan-kesulitan yang terjadi sebagai dampak dari pandemi Covid 19, dia mampu menunjukkan respon-respon adaptif yang memungkinkannya untuk bertahan hidup dan dalam beberapa hal bahkan bisa menemukan peluang baru untuk berkembang. Bagi bangsa yang resilien, sebagai suatu komunitas yang besar dan terorganisir, dengan masyarakatnya yang resilien, bersama-sama bangkit dari situasi terpuruk, melakukan berbagai tindakan respon adaptif, dan menyelesaikan masalah-masalah dengan memperhatikan kepentingan rakyat banyak.
Mengapa resiliensi penting? Pertama, resilien mampu untuk atasi situasi masalah yang datang silih berganti dalam kehidupan, karena pada dasarnya hidup ini tidak lepas dari masalah atau kesulitan. Kedua, resiliensi penting dalam membantu atasi kesulitan yang pernah dialami di masa kecil. Tidak semua orang mengalami masa kecil yang bahagia.
Banyak fakta yang menunjukkan tingginya persentase anak-anak yang mengalami kekerasan baik secara fisik, verbal, dan seksual. Banyak juga anak-anak yang tumbuh dalam kondisi kemiskinan, atau orangtua yang berpisah, dan lainnya. Situasi-situasi tersebut merupakan faktor resiko yang berpotensi menimbulkan masalah-masalah dalam perkembangan psikologis anak di masa depan. Dengan resiliensi yang dikembangkan dengan dukungan sosial dari orang dewasa atau komunitas sekitarnya, maka anak akan mampu bangkit dari situasi itu dan menumbuhkan kualitas ketangguhan diri yang baik.
Ketiga, resiliensi dibutuhkan untuk mampu bangkit kembali dari kejadian yang sifatnya traumatik atau yang dapat membuat terpuruk secara psikologis, seperti penindasan, kematian, dan lainnya. Keempat, dengan resiliensi, individu dapat terarah pada optimalisasi dari berbagai potensi yang ada di dalam dirinya sehingga dapat mencapai prestasi terbaik dirinya (Prihastuti, 2011).
Mendorong Meningkatnya Resiliensi
Apakah resiliensi ini sifatnya bawaan dari lahir? Apakah sifatnya diwariskan dari orangtua? Apakah tidak bisa berubah? Penelitian menyimpulkan bahwa resiliensi sebagai kapasitas personal yang dibentuk dari interaksi tiga faktor utama, yakni faktor kepribadian, biologis dan lingkungan, dapat dikembangkan, dan dapat dilatih. Hal ini merupakan kabar baik, bahwa kualitas unggul ini dapat ditumbuhkembangkan dari sejak dini, dapat dilatih untuk diterapkan dalam berbagai konteks kehidupan, baik untuk pertumbuhan pribadi, keluarga, dan peningkatan dalam performa kerja.
Pihak manakah yang dapat berperan membantu baik itu siswa usia anak-anak, pelajar, mahasiswa, maupun orang dewasa dalam meningkatkan resiliensinya? Peran orang tua sangatlah penting bagi anak-anaknya, karena orangtua adalah lingkungan sosial pertama dan utama dalam kehidupan individu. Peran sekolah atau instansi pendidikan, dalam hal ini guru, konselor, pendamping, dosen, adalah penting dalam meningkatkan resiliensi pelajar dan mahasiswa.
Peran komunitas, dalam hal ini bisa dari keluarga besar, lembaga agama, maupun layanan psikologi dari para psikolog, konselor, atau praktisi dalam hal ini, dapat menjadi sumber pertolongan untuk membantu baik individu maupun keluarga dalam membantu hadapi masalah atau situasi sulit yang menekan, dan bahkan menemukan peluang baru untuk optimalisasi diri di balik tantangan yang terjadi.
Jackson & Watkin (2004) dalam artikelnya yang berjudul The Resilience Inventory: Seven Eessential Skills for Overcoming Life’s Obstacles and Determining Happiness merangkum beberapa poin keterampilan untuk meningkatkan resiliensi:
Mengenali pemikiran atau keyakinan kita akan situasi sulit atau masalah yang dihadapi, serta apa konsekuensi dari pemikiran atau keyakinan kita tersebut. Jika kita berpikir bahwa suatu masalah tertentu tidak ada solusinya, maka konsekuensi dari pemikiran itu adalah bersikap pesimis dan menolak solusi-solusi yang ditawarkan. Bagaimana cara pandang kita terhadap suatu situasi akan mempengaruhi sikap dan tindakan kita terhadap situasi tersebut. Sebaliknya, ketika kita berpikir bahwa setiap masalah pasti ada solusi, maka pemikiran kita akan terarah untuk mencari solusi dan melakukannya.
Mengenali kecenderungan kesalahan dalam pemikiran kita, yang sering terjadi tanpa disadari. Misalnya: tanpa mencoba memahami kondisi kesulitan belajar yang dialami anak, seorang ibu memberi kesimpulan bahwa anaknya adalah malas. Sementara, jika diamati dan dikaji lebih lanjut, anak mengalami kesulitan dalam memahami bahan pelajaran karena konsep tentang perkalian, misalnya, masih keliru. Sehingga, ketika orangtua sadar akan pemikirannya yang keliru tersebut, dia akan mencoba mencari solusi atau cara menolong anak untuk mengatasi masalah ketidakpahamannya tersebut.
Membangun kesadaran akan keyakinan-keyakinan mendalam yang kita punya tentang bagaimana lingkungan atau dunia bekerja, dan bagaimana pengaruhnya bagi kita. Misalnya, ketika kita meyakini bahwa hidup ibarat roda yang berputar, terkadang melewati jalan bersih dan mulus, terkadang melewati jalan yang basah sehingga menjadi basah, atau jalan yang berlumpur sehingga menjadi kotor. Artinya, hidup ada silih berganti masalah, kebahagian, kesulitan, peluang, dan lainnya. Keyakinan seperti itu, akan menolong kita untuk siap dengan berbagai masalah, maupun peluang dalam hidup.
Tetap tenang dan fokus, mundur sejenak dari situasi yang memicu masalah, untuk dapat berpikir lebih jernih. Ada kalanya kita perlu berpaling sejenak dari kondisi sulit tersebut, bukan untuk menghindar, tapi untuk menenangkan diri sejenak dan memandang masalah dari perspektif lain. Misalnya dengan melakukan aktivitas yang disenangi, berbincang dengan sahabat, dan lainnya.
Merekonstruksi ulang keyakinan-keyakinan pribadi, merupakan proses dimana pemahaman kita semakin berkembang, berubah, yang membuat kita makin efektif dan terus berupaya mencari solusi. Bisa dilakukan mengikuti pelatihan-pelatihan baik itu softskills maupun hardskill.
Berhenti untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran yang tidak jelas, yang negatif, karena pemikiran demikian merongrong semangat dan gairah hidup. Cobalah untuk berpikir berdasarkan fakta yang ada dan bersikap optimis. Mencoba untuk tetap berusaha, dan tetap bergerak. Dengan kata lain, put it into practice.
Akhirnya, sebagai penutup, izinkan saya untuk bertanya bagi para pembaca dan bagi diri penulis, “Sebagai individu, apakah Anda dan saya sudah berusaha menjadi versi terbaik diri kita, bagi keluarga kita, bagi instansi tempat kita bekerja, bagi bangsa kita?”. Mari merefleksikan pertanyaan tersebut secara mendalam, mencoba mengidentifikasi bagaimana diri selama ini bertindak, sejauh mana diri ini berusaha, berjuang, dan melihat kesempatan baru untuk bertumbuh dari masalah-masalah yang terjadi. Akhir kata, selamat terus bertumbuh menjadi pribadi yang resilien. Salam sehat dan salam Pro Deo et Patria!
====
Penulis Dosen Tetap di Fakultas Psikologi Universitas HKBP Nommensen Medan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]