Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Untuk Sumatra Utara ada 23 kabupaten dan kota yang turut menyelenggarakan Pilkada serentak yang akan diselenggarakan seyogyanya pada tanggal 23 September 2020 harus ditunda dikarenakan wabah Corona Virus Disease (Covid-19) yang mulai menyerang dunia di akhir tahun 2019.
Dengan diterbitkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2020, yang dikeluarkan pada 4 Mei 2020, pemerintah resmi menunda beberapa tahapan Pilkada Serentak 2020, yang direncanakan dilaksanakan menjadi Desember 2020 dengan poin catatan dalam Perppu tersebut dapat dilaksanakan jika situasi pandemi virus covid-19 mengalami penurunan dan apabila tidak mengalami penurunan pilkada dapat ditunda kembali.
Dasar Hukum
Pasca penerbitan Perppu No 2 Tahun 2020 muncul beberapa polemik di tubuh masyarakat yang berharap pilkada serentak dapat dilaksakanan Desember 2020. Namun tak sedikit yang pesimis karena kurva pandemi Covid-19 tak pasti kapan akan menurun, sehingga memunculkan pertanyaan pilkada pandemi, mungkinkah bisa dilaksanakan?
Semua pertanyaan di atas akan terjawab dengan melihat beberapa hal penting, yakni pertama, berdasarkan hukum, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perrpu) No. 2 Tahun 2020, inilah satu-satunya payung hukum resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait pelaksaan Pilkada Serentak 2020. Peraturan ini diperkuat kembali oleh pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian membuat kesepakatan bersama Komisi II DPR RI, KPU RI, Bawaslu, dan DKPP dan menetapkan pilkada serentak tahun 2020 akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020.
Segenap elemen masyarakat masih sangat berharap momentum pilkada ini akan menjadi arus balik kebangkitan Indonesia dari sisi politik. Disadari ruang politik melalui proses Pemilihan kepala daerah yang diatur dalam UU menjadi ruang sangat strategis dalam mendorong perubahan signifikan sebuah bangsa di semua sendi kehidupan. Ruang di mana rakyat memiliki kebebasan sebesar-besarnya dalam menentukan pilihannya, baik calon gubernur, bupati, maupun wali kota untuk lima tahun mendatang.
Lahirnya eksekutif yang baik, pemimpin daerah berkualitas yang memiliki visi perubahan, antikorupsi, dan bekerja untuk rakyat, sangat ditentukan oleh pilkada. Pada titik ini negara dengan penuh kesadaran ingin memenuhi hak politik warga negara yang juga diatur dalam undang-undang. Walaupun dalam konteks hak azasi manusia hak atas kesehatan diakui sebagai hak dasar oleh masyarakat internasional sejak adopsi dari Konstitusi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1946.
Kemudian dipertegas dalam komentar umum dari Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya terhadap hak atas kesehatan, yaitu “Health is a fundamental human right indispensable for the exercise of other human rights”. Berdasarkan komentar umum dari Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, kesehatan ditempatkan sebagai hak asasi manusia yang fundamental dan tak ternilai demi terlaksananya hak asasi manusia yang lainnya.
Namun dalam hal ini pemerintah sudah menjalankan putusan ini dan menjadikan hak atas kesehatan menjadi prioritas utama dengan menunda pilkada yang pertama dijadwalkan bulan September ditunda menjadi bulan Desember, tepatnya tanggal 9 Desember 2020. Keputusan pilkada dilaksanakan pada Desember 2020 juga tidak mengabaikan hak atas kesehatan, karena sudah mendapat rekomendasi tim gugus tugas percepatan penanganan pandemi Covid-19.
Demokrasi Tak Boleh Mati
Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 sudah memasuki tahap pendaftaran calon kepala daerah pada 4-6 September. Namun pada proses ini banyak muncul fenomena baru yang cukup mengkhawatirkan yaitu, 60 orang calon kepala daerah terinfeksi positif Covid-19. Tidak itu saja, jumlah masyarakat yang terinfeksi positif Covid-19 juga meningkat pesat. Hal ini tentu saja menuai kekhawatiran bagi masyarakat bahwa pilkada nantinya akan menjadi cluster baru penyebaran Covid-19, sehingga banyak desakan dari elemen masyarakat untuk menunda pilkada yang kedua kalinya.
Proses penundaan pilkada tentu bukan suatu keputusan yang mudah. Banyak aspek yang harus dipikirkan, baik dari pemerintah maupun penyelenggara. Selain aspek kesehatan pemerintah juga harus memikirkan aspek politik dan ekonomi yang semuanya harus dipertimbangkan secara matang.
Mengutip pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD, yang mengatakan bhawa Pilkada tidak mungkin ditunda lagi, dikarenakan 270 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya dan ini akan diisi Plt. Jika ini terjadi inilah kasus pertama di dunia Plt kepala daerah terbanyak di dunia. Bukan itu saja, situasi ini juga akan sangat berdampak bagi sisi ekonomi dan investasi.
Selain itu, opsi untuk menuda pilkada juga tidak cukup rasional, mengingat tidak ada satupun yang mampu memprediksi pandemi Covid-19 ini akan berakhir. Untuk mendamaikan situasi ini perlu ada terobosan baru dari pemerintah, legislatif dan penyelenggara pemilu untuk membuat suatu produk hukum yang tegas dan jelas untuk pelaksanaan pilkada di tengah pandemi.
Selain di Indonesia, pemilu atau pilkada di tengah pandemi ini banyak sudah dilakukan di negara negara dunia dengan sukses, tentu dengan aturan dan disiplin protokoler kesehatan yang tinggi. Maka kita juga Bangsa Indonesia harus mampu menyelenggarakan pilkada serentak ini dengan sukses dengan tetap memtuhi protokoler kesehatan sehingga pilkada nantinya tidak menjadi cluster baru penyebaran Covid-19.
Penutup
Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan di atas, baik dari peraturan tentang Pilkada Serentak 2020 dan peraturan hukum lainnya, maka pilkada dapat dilaksanakan secara konstitusional karena telah memiliki legalitas dan landasan hukum yang jelas, tanpa harus ditunda untuk yang kedua kalinya. Namun dalam pelaksanaanya perlu ada kesadaran yang kuat dari penyelenggara, peserta dan masyarakat semuanya untuk sama-sama menjaga dan memaruhi protokoler kesehatan.
Selain itu juga sangat perlu ketegasan dari penyelenggara, baik itu KPU dan Bawaslu untuk menerapkan aturan protokoler kesehatan secara tertulis yang harus dipatuhi oleh seluruh pihak yang terkait dalam proses pilkada. Jika ada yang melanggar harus mendapatkan sanksi tegas termasuk pembatalan sebagai calon.
Pemerintah, legislatif, penyelenggara, serta seluruh elemen masyarakat mari bersatu menjaga kesehatan dan mematuhi protokoler kesehatan sehingga pilkada dapat berjalan dengan sukses tanpa menjadi cluster baru penyebaran covid-19, dengan semangat pilkada serentak 2020 mari kita perangi Covid-19 agar angka penyebaran dapat ditekan,sehingga sistem demokrasi ini tidak mati. Mari kita wujudkan pilkada sehat yang berkualitas dengan tetap menjaga integritas!
====
Penulis Direktur Pusat Kajian Politik dan Hukum (PKPH) Sumatera Utara dan Ketua Panwaslu Kecamatan Medan Timur
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]