Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pendidikan menjadi usaha sadar dan sarana berporoses menuju kemanusiaannya. Meski sering dalam pelaksanaannya kita larut dan sibuk dalam administrasi pendidikan, meski penting namun tidak lebih penting bagaimana proses belajar dan mengajar menjadi kaya dalam dialektika dan diskusi baik antara guru dan peserta didik. Merdeka belajar menjadi sebuah thema baru kita berada pada tahap mewujudkan sebuah konsep humanisasi, anak didik bebas belajar banyak hal dan belajar dari apa yang mereka suka dan sesuai dengan talenta masing-masing.
Guru punya peran serta yang penting dalam mewujudkan, kemerdekaan perserta didik untuk belajar. Guru harus berjuang untuk meningkatkan kualitas, bukan lagi hanya berjuang pada peningkatan kesejahteraan guru, yang dalam hal ini sudah dalam proses pengerjaan Pemerintah dengan program-programnya berupa meningkatkan kemampuan dan kapasitas guru yang walaupun notabene masih banyak perbaikan dalam pelaksanaannya.
Beberapa pendapat mengatakan, bahwa sebaik apa pun kurikulum atau bahkan kurikulum tidak ada tetapi jika guru berkualitas maka hasil dari pendidikan tersebut akan berkualitas. Karena tuntutan adminitrasi dalam kurikulum menjadi menjemukan guru dan menambah kerumitan mempersiapkan administrasi pembelajaran ketimbanga mencari terobosan model pembelajaran yang menarik pada proses belajar siswa di dalam kelas.
Dihadapkan dengan tantangan dalam pendidikan di saat sekarang sangat berjalan dengan cepat dan bergerak. Dengan kemajuan teknologi dunia terasa semakin kecil hanya dengan sebuah smartphone perkembangan di belahan dunia dapat kita ketahui. Siswa dapat belajar dari lingkungan, komunitas, keluarga dan dapat belajar dari mana saja sehingga sebenarnya tanpa diberitahu, siswa banyak mengetahui/memiliki data dan informasi yang didapat. Dan bahkan mungkin jauh dari apa yang di miliki guru.
Dengan banyaknya potensi dan informasi yang dimiliki siswa sebenarnya guru harus membawakan sebuah paradigma pembelajaran menuju ke arah pembebasan anak didik dengan segala eksistensinya. Bukan malah membunuh setiap potensi, rasa keingintahuan, kreatifitas si “anak didik” dengan sebuah pembelajaran yang menjemukan dan cenderung hanya memindahkan pembelajaran yang ada dibuku ke dalam “otak/pikiran” anak didik tanpa berusaha memberikan waktu kepada mereka untuk mempertanyakan, membandingkan, bahkan menyalahkan teori tersebut. Guru sebagai fasilitator kepada anak didik membantu dan mengembangkan setiap potensi yang dimiliki siswa sehingga anak didik bebas mewujudkan keseluruhan potensi dirinya.
Ilmu pada awalnya ada karena mempertanyakan realitas yang terjadi. Pendidikan diarahkan agar siswa menemukan kebenaran melalui kontemplasi. Seperti yang dikatakan Aristoteles, “kegiatan belajar tertinggi yang dapat dilakukan manusia adalah kontemplasi si pelajar mencari dan menemukan pengetahuan demi kepentingan pengetahuan itu sendiri”. Keinginan mencari harus diajarkan kepada siswa, bertanya, mencari jawaban sendiri atas pertanyaan dan menyimpulkan harus selalu ditumbuhkan sehingga anak didik menjadi manusia yang berpikir, kreatif dan mandiri serta menemukan jawaban permasalahannya sehingga kelak tidak menjadi manusia yang mudah putus asa.
Berubah
Ibarat kita menanam bunga, kita hanya perlu menyiramnya dengan air, memberikan pupuk, dan membersihkan setiap hama dan gulma yang menghambat pertumbuhan dan kemekaran bunga tersebut tanpa harus memaksanya harus berbuah/berbunga dengan cepat, atau tumbuh seperti apa yang kita mau.
Begitulah guru, guru harus memberikan pendidikan yang demokratis, partisipatif dan humanis. Di dalam kelas terjadi suasana saling menghargai, adanya kebebasan pendapat, mengungkapkan gagasan, mampu hidup bersama dengan orang memiliki pandangan yang berbeda. Guru membantu peserta didik menemukan pembebasan diri dalam menemukan eksistensinya. Sehingga anak didik bebas mewujudkan mimpi dari segala potensi yang dimilikinya.
Sebagai contoh dalam realitas pendidikan sekarang, anak Sekolah Dasar (SD) sudah jarang sekali diajari untuk mau bercerita di depan kelas. Menceritakan apa yang dialaminya kemarin setelah pulang sekolah dan sampai saat anak tersebut ada hadir kembali di kelas. Namun, guru sibuk memberikan pelajaran yang memaksanya harus mengetahui berhitung, membaca, bahkan lebih ironis anak didik tersebut dipaksa mampu berbahasa asing meski di usia psikologis pembelajaran anak belum saatnya anak didik belajr hal demikian. Dan kondisi itu, “diaminkan” lagi, ketika orang tua malu (perasaan inferior) ketika anaknya belum mampu membaca dan berhitung bahkan berbahasa asing.
Sering sekali dengan sadar guru mengindoktrinasi siswa dengan segudang pengetahuan yang berat dan memasukkan ilmu tersebut ibarat mengisi air ke dalam wadah, tanpa siswa mengetahui untuk apa itu dipelajari dan memberikan waktu kepada siswa untuk berpikir alternatif yang berbeda sehingga terbentuklah sebuah diskusi di dalam kelas.
“Membiarkan anak didik berbuat salah” adalah sebuah proses pembelajaran. Pembelajaran terjadi ketika anak didik mengetahui apa yang dipelajari dan paham akan konteks untuk apa belajar itu. Ketika siswa melakukan kesalahan, disinilah peran guru untuk meletakkan anak didiknya ke dalam kerangka yang benar dan memberikan contoh yang baik. Bukan memberikan suasana yang kaku dan takut, karena setiap orang dalam melakukan sesuatu hal tidak akan benar jika tidak pernah melakukan yang salah.
Konsep ipsative, mengajak anak didik untuk membandingkan dengan hasil/nilai dari pekerjaan sebelumnya yang pernah diraih, bukan membandingkan dengan hasil pekerjaan temannya. Guru harus menghindari kata “Kamu salah!” menjadi sebuah vonis, karena guru harus menganggap kesalahan itu adalah sebuah hal yang biasa bahkananak didik sedang mengerjakan soal.
Di lain sisi, orang tua murid juga merasa malu jika anak-anaknya tidak dapat membaca dalam usia belia yang seharusnya anak tersebut masih bermain dan menikmati indahnya masa kecil. Kebanggaan orang tua menceritakan bahwa anaknya yang belia sudah mampu membaca dan berhitung kepada orang tua menjadikan sebuah persaingan secara langsung dan tidak langsung menghancur ruang bermain anak-anak didik hanya karena orang tua malu dan gengsi. Kita sering lupa, penekanan belajar bukan berorientasi pada hasil namun proses. Kesabaran guru bahkan orangtua diuji dalam melihat proses anak didik berkembang secara bertahap baik pengetahuan dan perkembangan psikologis anak didik.
Dalam sebuah kerja sama yang padu antara guru dan orang tua harus memadukan dan melanjuti perlakuan yang ada di sekolah. Jika sekolah mewujudkan pendidikan yang membebaskan kemampuan berpikir anak dengan melihat potensi anak didik maka orang tua juga melanjutkannya dengan demikian karena si anak juga memiliki waktu yang banyak berada di rumah bersama dengan orang tua. Sehingga alur yang utuh proses yang dialami anak didik saat di rumah, sekolah dan kembali lagi ke rumah. Demi mewujudkan generasi bangsa yang cerdas.
====
Penulis adalah Dosen Universitas HKBP Nommensen Pematang Siantar
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]