Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pernyataan Elias Situmorang pada tajuknya "Menata Danau Toba dengan Hati" (Kompas, 30/08/2020) perlu ditanggapi secara kritis. "Sedikit saja ada persoalan terutama menyangkut tanah, masyarakat langsung ribut dan tidak jarang harus mengeluarkan biaya sampai ratusan juta rupiah di pengadilan," tulis Elias. Kemudian, lanjut Elias, "banyak tanah adat yang tersebar luas di seputar Danau Toba tidak boleh digarap oleh siapa pun sebelum dibagi menurut adat yang prosesnya cukup rumit dan memakan banyak waktu lama karena harus menghubungi semua anggota keluarga yang ada di perantauan".
Rupanya, Elias memandang bahwa masyarakat di sekitar danau yang kental dengan adat menjadi penghalang pembangunan di sekitar danau. Bahkan, kata Elias, "kemiskinan tidak membuat mereka terenyuh dan merenungkan kembali makna adat untuk menyejahterakan kehidupan warga".
Elias kemudian mengambil pembanding: Raja Sargon. Elias menganggap masyarakat di sekitar danau menjadi salah satu penghalang atas megaproyek Danau Toba. Karena itu, perlu pemikiran ala Raja Sargon diterapkan. Pertanyaannya, betulkah masyarakat jadi penghalang?
Fakta saat ini, hutan di sekitar danau sudah tak seperti sedia kala lagi. Saya baru saja terbang dari Bandara Silangit menuju Jakarta dalam rangka mengikuti Bimbingan Teknis Instruktur Pembelajaran Sastra Berbasis Digital Tingkat Nasional. Dari tampak udara, hutan di sekitar danau di daerah Tapanuli Utara kelihatan banyak bolong. Dari jalur darat, jika bergerak dari Dolok Sanggul ke Pangururan lewat Tele, hutan produksi dari salah satu perusahaan berbahan pokok kayu kelihatan begitu dominan. Hutan alam tak banyak lagi.
Patut Ditanyakan
Padahal, hal yang kita banggakan dari Geopark Kaldera Toba adalah alamnya, bukan rencana pembangunan infrastrukturnya dengan berbagai kemewahannya. Alam adalah fondasi, sementara rencana pembangunan infrastruktur hanya pelengkap. Merawat hutan, misalnya, adalah fondasi, bukan malah merusaknya atas nama pengembangan dan bisnis. Namun faktanya, faktor alam sering digusur. Sepuluh tahun silam, misalnya, Badan Lingkungan Hidup Sumut telah memperkirakan bahwa sisa vegetasi hutan tinggal 12 persen dari total sekitar 356.800 hektare areal hutan di kawasan Danau Toba tersebut (Kompas.com).
Patut ditanyakan: siapa yang merusak hutan ini? Apakah masyarakat adat atau korporat? Saat ini, di sekitar danau, hak mengusahakan hutan banyak dimiliki korporat. Pada saat yang sama, juga terdapat banyak hutan adat di sekitar danau. Hutan Adat Situmorang di Tele termasuk paling luas. Dua jenis hutan itu (adat dan korporat) jauh berbeda secara kualitas, tentu saja. Karena perbedaan itulah kemudian saya sungguh tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya ekologi di sekitar danau andai hutan adat tidak ada lagi.
Apakah masyarakat adat tidak suka dengan pembangunan? Faktanya, ada banyak perlawanan warga masyarakat adat, termasuk di Sigapiton, yang merupakan salah satu titik fokus proyek dari BPODT. Namun, perlawanan warga tak bisa dipandang semata sebagai anti pembangunan. Masyarakat adat adalah penjaga kelestarian alam. Tanpa masyarakat adat, pohon terakhir di sekitar danau pasti sudah ludes. Jika masyarakat adat tidak menjaga hutan adatnya, mustahil Danau Toba diterima sebagai geopark yang memang mengandalkan konsep-konsep geodiversity, biodiversity, dan culturediersity.
Danau Toba adalah danau terbesar di ASEAN. Danau besar harus disokong hutan yang asri, tentu saja. Karena itu, sejak dulu, saya selalu khawatir akan keberadaan perusahaan berbasis kayu di sekitaran danau. Perusahaan ini tidak hanya mengancam keasrian danau, juga mengancam kehidupan warga sekitar. Perselisihan perusahaan berbasis kayu terhadap pemilik hutan adat dan kebun kemenyan di Humbang Hasundutan merupakan salah satu contoh kecil. Contoh lainnya adalah pembangunan atas nama pertanian/perkebunan.
Kini, misalnya, Humbang Hasundutan dibuat pemerintah pusat menjadi sentra pangan (food estate). Master plan kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) sudah dirancang bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar. Ide itu sangat mulia. Namun, di atas ide mulia itu, kekhawatiran akan makin runyamnya hutan di Humbang Hasundutan (penyokong Danau Toba) tetap saja tak bisa dianggap sepele. Pengalaman sudah berbicara bahwa kebanyakan pembangunan di hutan sering kali melulu motif bisnis. Ukurannya melulu keuntungan: uang menjemput uang.
Manakala rugi, hutan pun semakin dihancurkan untuk meraup untung. Saya tak anti pembangunan. Saya sudah melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana di Jerman, hutan berdampingan dengan pertanian/perkebunan modern, bahkan dengan permukiman penduduk. Di sana, keselamatan alam benar-benar terjamin. Namun, sejauh ini, di sekitar danau, saya melihat belum ada komitmen dari para kaum elite (korporat dan birokrat) akan keterjagaan alam. Sumber daya alam semata dipandang sebagai sesuatu yang harus dihabiskan, bukan diwarisi.
Maka, andai saja tak ada masyarakat adat yang menentang, hutan di sekitar danau niscaya makin menyusut. Memang, saya tak menampik, di salah satu sisi, masyarakat setempat tidak peduli pada danau. Maraknya pembuangan sampah dan limbah, juga kerambah apung adalah salah satu contoh. Walau begitu, limbah dan sampah, terutama kerambah apung di sana dominan berasal dari korporat. Pada saat yang sama juga, masyarakat di sekitar danau kian "modern" sehingga mulai silau akan cahaya uang.
Dampaknya, tak jarang masyarakat setempat teperdaya oleh rayuan para korporat untuk menjual tanah (adat) sehingga timbullah berbagai pertikaian multiarah. Pertikaian sesama pewaris, misalnya. Suatu kubu setuju tanah adat dijual, sementara kubu lain menolak hingga berujung pada perkara di pengadilan. Alih lahan terbukti makin marak setelah pemerintah pusat membuat megaproyek di Danau Toba (Kompas, 23/09/2016). Malah lagi, sebagaimana dikutip Kompas, Ombang Siboro, Kadis Pariwisata Samosir, mengaku telah beberapa kali didatangi oleh investor Singapura untuk membeli sebuah kampung.
Dengan Hati-Hati
Tak kalah heboh, beberapa warga juga sudah ada yang bertengkar karena ada yang tergiur hendak menjual permakaman hingga menimbulkan perkara di antara mereka. Nah, dalam perkara seperti inilah saya pikir pemerintah semestinya mengedukasi, bahkan meyakinkan agar masyarakat setempat tidak terangkat dari akar kulturalnya. Pasalnya, alih dan penjualan lahan atas nama bisnis potensial menghancurkan aspek kultural. Segala tanah adat dan situs tempat kultural mesti dijaga dari alih lahan.
Jangan atas nama pembangunan, masyarakat silau pada cahaya uang sehingga menjual dan menukar situs budaya. Bagaimana pun, di samping kekayaan natural, kekayaan kultural juga mesti dijaga. Kekayaan kultural itu adalah tempat kita kembali kelak. Karena itu, membangun Danau Toba tak cukup dengan hati. Kita mesti hati-hati bahwa danau disokong hutan luas. Dalam pada ini, izin menggunakan hutan oleh korporasi mesti diawasi dengan sangat ketat. Perusak hutan selama ini bukan masyarakat, melainkan korporat. Kehati-hatian itu tentu harus menyentuh unsur kultural.
Edukasi, misalnya, agar masyarakat tidak gegabah menjual tanah. Kemewahan dan keberhasilan tak selalu disimbolkan dengan gedung pencakar langit juga dengan melimpahnya uang dari hasil jual aset. Sentuhan modernisasi tidak harus ditolak, namun mesti hati-hati agar modernisasi itu tidak malah menghilangkan yang tradisional-kultural. Intinya, Danau Toba harus dibangun atas nama konservasi alam sebagai semangat dari geopark, bukan sebagai atas nama bisnis. Jikalaupun bisnis, percayalah, keasrian alam akan menghasilkan, kok, di kemudian hari!
====
Penulis Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul/Aktif di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan di Toba Writers Forum
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]