Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Selepas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi undang-undang tidak sedikit elemen masyarakat yang menolak keputusan tersebut. Katakanlah seperti buruh, organisasi masyarakat, mahasiswa bahkan pelajar turut tidak setuju dengan pengesahan undang-undang tersebut, yang mana terdapat poin-poin yang dapat merugikan masyarakat, khususnya dalam bidang ketenagakerjaan.
Alhasil, berbagai elemen masyarakat yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja tersebut serentak melakukan aksi demonstrasi di seluruh penjuru nusantara. Terhitung puncak dari aksi demonstrasi tersebut pada Kamis, 08 Oktober 2020. Buruh, mahasiswa, organisasi masyarakat serta pelajar pun ikut serta dalam aksi tersebut di berbagai daerah di Indonesia dan dilanjuti beberapa hari setelahnya.
Akan tetapi demonstrasi atau unjuk rasa yang bermakna “sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum,”(Wikipedia) justru berbanding terbalik menjadi sebuah aksi unjuk tenaga alias ricuh. Terlihat dari berbagai unggahan dari sosial media hampir seluruh aksi demonstrasi di berbagai daerah berjalan ricuh. Hal ini jelas merusak makna dari unjuk rasa itu sendiri.
Tidak terkecuali di Kota Medan, tepat juga pada Kamis, 08 Oktober 2020,Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara sudah dipenuhi para demonstran. Hal aneh yang terjadi yakni terlihat jelas terhitung mulai sekitar pukul 11.00 WIB aksi demonstrasi sudah dipenuhi oleh hal-hal yang diluar dugaan. Demonstran berlarian ke sana-kemari, lemparan demi lemparan ke arah gedung DPRD Sumut sudah terjadi serta suara tembakan gas air mata dari kepolisian pun sangat sering terdengar.
Hal ini membuat aksi demonstrasi berjalan panas dan terus berlanjut hingga sore hari. Demonstran dan pihak kepolisian tidak habisnya terus berhadapan. Fasilitas umum berusakan serta tak sedikit demonstran yang terluka serta berhasil ditangkap oleh kepolisian. Akibatnya, apa yang seharusnya disuarakan di aksi tersebut kalah banyaknya ketimbang aksi unjuk tenaga yang tejadi.
Seharusnya kita sebagai demonstran yang mengharapkan demokrasi yang baik bisa sedikit lebih bijak dalam menyuarakan apa yang kita suarakan. Sifat manusia yang mudah meningkat emosionalnya di saat seperti ini mestinya harus bisa dikendalikan. Ada baiknya jika demonstran benar benar menjalin komunikasi yang baik terlebih dahulu kepada pihak yang bersangkutan, yakni DPRD agar sebaliknya pihak DPRD tersebut itu pula bisa menyampaikan mau diarahkan kemana aspirasi masyarakat tersebut. Begitu pula kepada para pihak kepolisian yang harusnya bisa mengayomi dan mengamankan jalannya aksi demonstran bisa menjalankan tugasnya.
Masih membekas di pikiran kita mungkin pada 02 Desember 2016 silam atau yang sekarang sering kita sebut sebagai Aksi Damai 212,di mana pada saat itu masyarakat Indonesia khususnya umat islam berkumpul di sekitaran Monumen Nasional (Monas) untuk menuntut Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama. Pada aksi ini massa diperkirakan bekisar ratusan ribu hingga jutaan massa yang hadir melalui tangkapan kamera drone, dapat terlihat bahwa jumlah massa meluas hingga mamadati area Bundaran Hotel Indonesia(HI).(Wikipedia)
Selain itu yang masih teringat pada kita yakni aksi tersebut berjalan dengan damai tanpa ada satupun darah menetes dari para peserta aksi dan tidak terlihat fasilitas umum yang rusak. Beragam kegiatan turut mewarnai aksi tersebut seperti berdoa dan melakukan salat Jumat bersama bahkan Presiden Joko Widodo hadir dalam acara ini dan disambut hangat oleh para peserta aksi.
Seperti itulah seharusnya konsep yang harus ditanam oleh kita yang berusaha menerapkan nilai nilai demokrasi di negeri ini. Jangan terlalu cepat mengeluarkan pedang sebelum apa yang ada di mulut hati dikeluarkan juga.
Bukankah Muhammad Alfatih memerlukan waktu puluhan hari untuk merebut akonstatinopel dalam perangnya? Bukankah juga para pejuang negeri ini berabad-abad baru bisa meneriakkan kata merdeka? Seperti itu pula kita harusnya. Selain komunikasi, rasa dan tenaga kita juga masih perlu, yakni sifat sabar di dalam diri.
====
Penulis Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]