Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Menjelang Pilkada Serentak 9 Desember 2020, publik ramai membincangkannya. Hampir semua tempat selalu membincangkan hal tersebut. Dianggap sebagai sesuatu yang hangat dan layak untuk dibicarakan. Sebab, masing-masing orang mempunyai kepentingannya sendiri terhadap pilkada tersebut. Setiap tempat dengan ciri khasnya tersendiri membincangkan dengan pola dan tingkah laku para pembicaranya. Ada yang dari tingkat paling serius sampai yang santai. Dari mulai para pakar politik, sampai sesiapapun yang sekadar tahu makna politik dan demokrasi. Ramai dibincangkan hal tersebut.
Salah satu tempat yang biasa membincangkan ini adalah warung kopi. Mulai warung kopi yang biasa-biasa saja, sampai yang bermerek dan label tertentu. Bahkan berada di kawasan yang paling elite. Mulai dari harga kopinya 5 ribu sampai 200-an ribu per gelas. Bahkan peminat kopinya juga beragam; ada yang mau kopi asli tanpa gula, kopi dengan penggilingan yang halus, kasar, kopi tubruk, kopi saring, dan beragam jenis cara menyajikan kopi. Di warung kopi, seolah mendapatkan saluran demokrasi ketika hal itu dibincangkan di sana. Komunikasi politik dalam tataran demokrasi terjadi di warung kopi. Dan benar, semuanya bebas mengeluarkan pendapatnya tentang politik yang tengah terjadi. Tentang perebutan kekuasaan pada tataran elite, sementara pada level bawah rakyat bawah semakin menjerit. Tampaknya inilah tempat demokrasi yang paling tepat. Siapa saja boleh berbicara sepanjang maunya dengan kerabat dan karibnya.
Dengan kata lain, warung kopi seolah menjadi parlemennya masyarakat nonparlemen. Inilah menariknya yang terjadi di tengah masyarakat. Siapapun bisa menyampaikan gagasannya tentang politik yang sedang terjadi. Ada ada yang mendukung pasangan tertentu dalam pilkada. Dengan dalih mendukung, maka berbagai argumentasi disampaikan. Dikatakannyalah bahwa pasangan tersebut yang ideal; sesuai dengan hati nurani rakyat serta mampu mengemban amanah dalam upaya membangun masyarakat di kabupaten/kota ataupun provinsi. Dukungan ini sangat gencar disampaikan atas dasar argumen dan data yang diperolehnya. Yang namanya pendukung, pastilah memberikan alasan serasional mungkin agar apa yang digagasnya tersebut bisa diterima oleh lawan bicara.
BACA JUGA: Dirgahayu TNI
Pada sisi lain, ada pula yang tidak mendukung pasangan tertentu dengan menyampaikannya sesuai dengan hati nuraninya. Karena memang tidak mendukung, maka segala alasan dikemukakan bahwa pasangan tersebut tidak sesuai dengan hati nurani rakyat. Pasangan tersebut melakukan tindakan yang tidak dibenarkan. Ataupun pasangan tersebut tidak mendapatkan simpati dikarenakan berbagai faktor negatif yang dialamatkan padanya. Semuanya yang disampaikannya adalah hal-hal yang bersifat negatif terhadap pasangan itu. Namanya juga memang sudah tidak suka, pastilah dikeluarkan segala macam alasan yang bisa diarahkan agar orang lain juga tidak menyukai pasangan tersebut. Dalam bahasa politiknya, ini adalah kampanye hitam (black campaign); walaupun masyarakat umum tidak tahu arti kampanye hitam.
Pada sisi yang lainnya lagi, “warga” warung kopi itu hanya mendengarkan dengan baik dari dua kubu yang saling mendukung. Saling berbantah. Bisa jadi ini adalah kelompok yang realistis. Kelompok yang tidak mempunyai kepentingan praktis terhadap peta politik yang sedang berkembang di pilkada ini. Berbagai masukan didengarkan, sambil sesekali mengomentari seperlunya, dengan menjaga hati lawan bicaranya.
Yang namanya juga warung kopi, maka saluran komunikasi itu beragam arah. Tidak hanya satu arah, dua arah, tiga arah, atau beberapa arah, tidak sebagaimana yang diajarkan dalam teori komunikasi di bangku perkuliahan. Saluran komunikasi entah berapa arah dan yang menanggapi juga beragam serta yang berbicara juga berganti antara orang yang satu dengan yang lainnya. Karena memang orang yang datang ke warung kopi itu terkadang beragam dan bergantian. Sehingga pembicaraan yang dibahaspun sangatlah sulit untuk mendapatkan sebuah keputusan. Dan memang pembicaraan akan terasa berulang-ulang dengan orang yang berbeda, karena memang pembicaraan tidak menemukan titik temu. Orang yang datang silih berganti ke warung kopi tentunya akan memutuskan pembicaraan yang satu dengan yang lainnya. Antara satu stressing point dengan yang lainnya akan beragam pula. Inilah menariknya demokrasi di warung kopi. Pembiacaraan tidak pernah putus.
Yang jelas, siapapun yang ada di warung kopi bisa dengan leluasa menyampaikan ide dan gagasan tentang pilkada, tentang figur yang dipilihnya. Dikarenakan perbincangan itu terlanjur serius, bahkan terjadi gesekan antara satu dengan yang lainnya; sesama pengunjung warung kopi. Gesekan ini terjadi dan nyata di tengah perhelatan warung kopi. Tragisnya, dikarenakan hal itu ada juga warga warung kopi tersebut harus pindah untuk ngopi ke tempat lainnya. Aneh kelihatannya. Tetapi itulah realitas yang ada karena gesekan berpindah warung kopinya. Masyarakat biasapun ternyata mempunyai afiliasi politiknya sendiri. Itulah menarik membincangkan politik di warung kopi. Beragam “aliran” politik berkecamuk di warung kopi. Tetap dengan preferensinya secara individual.
Akhirnya, warung kopi tetap menjadi ramai. Dan apa yang dilakukan ini juga merupakan salah satu cara warga masyarakat untuk bersosialisasi diri dengan lingkungannya. Dan linkungannya adalah masyarakat sekitar yang kebetulan dalam warung kopi yang sama. Inilah salah satu lingkungan untuk bersosialisasi bagi masyarakat. Tentunya, hal ini banyak positifnya sebagai perekat sosial di tengah masyarakat. Dan ternyata, pahitnya kopi yang diminum juga mengajarkan pada kita bahwa hidup ini terkadang pahit. Mungkin (pahitnya) kopi diciptakan Tuhan agar kita tidak merasa sendiri dalam kepahitan.
====
Penulis Sekretaris pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara ([email protected]).
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]