Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Bangsa Indonesia, sebahagiannya, akan menyelenggarakan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) yang akan diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang. Pilkada itu akan dilaksanakan pada 270 daerah, dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Tentunya sangat meriah sebagai sebuah hajatan berbangsa dan bernegara; sebuah hajatan untuk menata demokrasi yang lebih berkeadaban. Inilah salah satu cara untuk menentukan baik-buruknya kepemimpinan bangsa pada tingkat lokal. Karenanya, kualitas kepemimpinan menjadi sebuah pertaruhan untuk diperebutkan dalam Pilkada.
Saat ini dalam tahapan Pilkada serentak tahun 2020, adalah masa kampanye, yang dilaksanakan pada 26 September 2020 sampai 5 Desember 2020; hanya 71 hari, tidak begitu lama jika dibandingkan dengan Pilpres/Pileg tahun 2019. Masa kampanye adalah masa mempromosikan para calon pasangan kepala daerah. Masa untuk memperkenalkan diri kepada publik.
Beras dalam Metamorfosis Kampanye
Kampanye sejatinya adalah untuk menarik simpati dengan “menjual” visi dan misi, yang selanjutkan dituangkan dalam program kerja dan kegiatan. Itulah kampanye secara esensial. Hanya visi dan misi yang ditawarkan. Tidak ada yang lain. Dengan “terbelinya” visi dan misi oleh publik – masyarakat luas – maka sukseslah kampanye yang telah dilaksanakan tersebut.
Realitas hari ini, kampanye ternyata juga dalam wujud lain. Kampanye yang berubah bentuk. Kampanye yang telah bermetamorfosis. Adanya perubahan wujud kampanye menjadi realitas di tengah masyarakat. Kampanye pada intinya adalah bagaimana khalayak publik menaruh perhatian dan simpati pada pasangan calon kepala daerah. Ada upaya yang dilakukan sebagian kecil Tim Sukses dalam kampanye. Ada yang memberikan beras sebagai bagian dari barter politik tingkat rendah. Sebagai bahan pokok masyarakat kita, tentunya mendapatkan beras adalah sesuatu yang dianggap realistis untuk didapatkan dari sebuah kampanye; dibandingkan dengan janji kampanye dalam bentuk visi dan misi.
Sehingga beras, dan seperangkat sembako lainnya, tidak jarang menjadi inti utama dari sebuah kampanye, yang ternyata mengalahkan pamor visi dan misi pasangan calon kepala daerah. Jika ada warga masyarakat yang tidak mendapatkan beras dalam sebuah kampanye, maka hal itu menjadi indikator ketidakberhasilan sebuah Tim Sukses dalam sebuah gelaran kampanye. Karena adanya satu-dua orang yang tidak kebagian beras, justru akan menyerang kredibilitas calon dari dalam kelompok pendukung. Ancaman internal ini akan semakin besar tatkala tidak segera ditanggulangi.
Mengais simpati masyarakat dengan beras, dan kelengkapannya, menjadi sebuah trend baru dalam kampanye pilkada. Banyak pasangan calon kepala daerah yang melakukannya. Secara massif hal itu terjadi. Masyarakat juga memaklumi, dan pasangan calon kepala daerah beserta TS-nya juga memaklumi. Jelasnya, dalam berkampanye yang juga bermakna untuk mengais simpati publlik (grass-root), mengharuskan adanya aspek yang menguntungkan secara real bagi publik.
Jika money-politics atau politik uang, dilarang secara konstitusinal, maka memberikan beras tidak disebutkan dalam hal itu? Karena bentuknya bukan uang? Tidak juga, hal ini merupakan bagian dari money-politics; sebagai salah satu unsur yang mempengaruhi keterikatan moral kepada siapa yang memberikan.
Terlepas dilarang atau tidak beras juga yang menjadi kebutuhan masyarakat tetaplah diperlukan. Jadinya, beras menjadi barang yang keberterimaan dimafhumi sebagai bagian dari “peluru” dalam berkampanye. Tanpa peluru tak mungkin bertempur; begitulah perumpamaannya yang bisa dikatakan sekaitan dengan eksistensi beras dalam berkampanye.
Bersangka Baik dalam Filantropi Politik
Sebenarnya alangkah baiknya jika kita tetap bersangka baik. Tidak menyalahkan pihak manapun, sekaitan dengan masuknya beras sebagai daftar kebutuhan “perang” dalam kampanye. Anggap sajalah bagi yang memberikan beras sebagai bagian dari ladang amal pemberinya. Jangan dipandang sebagai sesuatu yang menyalahi aturan konstitusiaonal yang telah dibuat oleh Komisioner Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Menganggap orang lain beramal baik, tentunya sangat dianjurkan dalam setiap agama. Sehingga beras yang telanjur diberikan itu sebagai bagian sumbangan, sedekah, zakat, ataupun bentuk filantropi. Itulah wujud filantropi yang dilakukan orang lain kepada sesamanya. Baik-baik sajalah hal itu dianggap. Karena hal itu juga akan sangat berguna bagi masyarakat banyak.
Dengan begitu, jika suatu daerah pasangan calon kepala daerahnya lebih dari satu, maka bentuk-bentuk filantropi itu akan semakin banyak. Semakin banyak masyarakat yang tertolong sebagai bagian dari kebaikan politik. Karena setiap pasangan calon berlomba untuk mencari simpati publik. Hal ini akan menggerakkan roda perekonomian masyarakat. Masyarakat terbantu secara ekonomi. Roda perekonomian juga bergerak dengan sendirinya. Akan ada bahan yang dibutuhkan. Dibutuhkan pedagang, alat transportasi, pekerja yang mempersiapkan bingkisan, atau segala kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan hal itu. Bergeraklah roda perekonomian masyarakat setempat. Karena itu, sangat diharapkan pula kepada para pasangan calon kepala daerah, maunya mengoptimalkan seluruh potensi perekonomian yang ada di daerah itu. Jika perlu beras, maka beras daerahnya saja yang dipakai. Jangan dari daerah lainnya.
Penutup
Tatkala beras sudah menjadi bagian dari filantropi politik, maka realitas tersebut menegaskan bahwa dalam politik akan memberikan sebuah tesis yang mengatakan “siapa mendapatkan apa”. Jelas hal itu terlihat dengan nyata. Bagi masyarakat awam yang berafiliasi politiknya secara singkat dan pragmatis, mendapatkan beras dalam kampanye politik adalah suatu keniscayaan. Kalau sudah dapat bagian (jatah beras), maka masyarakat akan mempertimbangkan untuk menjatuhkan pilihan politiknya kepada pihak yang telah memberinya. Walaupun, selalu terdengar slogan; Tolak Politik Uang. Ambil uangnya, jangan pilih orangnya! Ini selalu menjadi jargon. Bisakah? Bergantung dari masyarakatnya.
====
Penulis Sekretaris pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara ([email protected]).
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]