Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Hari Sumpah Pemuda 2020 yang ke-92, berlalu sudah. Ada hal yang sangat menggelitik pada saat hari tersebut. Setidaknya sebagaimana dibaca dan didengar dari berbagai media massa bahwa ada seseorang tokoh nasional, tidakpun disebut namanya, semuanya pasti mengetahuimya. Beliau adalah Megawati, mantan presiden Republik Indonesia. Beliau mempertanyakan sumbangsih apa yang telah diberikan oleh kaum generasi milenial terhadap Indonesia, selain demonstrasi ataupun unjuk rasa.
Pertanyaan retoris itu juga bisa dipahami bahwa tidak ada satu yang bisa diberikan kaum milenial terhadap Indonesia, kecuali demonstrasi atau unjuk rasa. Itulah yang terpahami. Bukankah begitu? Atau ada pendapat lain? Dari teks pertanyaan tokoh nasional tersebut, jelaslah bahwa kaum milenial hanyalah pendemo.
Sebagaimana diketahui bahwa akhir-akhir ini segolongan besar kelompok masyarakat melakukan aksi unjuk rasa menolak Undang-undang Omnibus law; Undang-Undang Cipta Kerja. Ada yang mengatakan Cipta Lapangan Kerja,, sehingga ada pula yang menyingkatnya menjadi Undang-Undang Ci(pta) La(pangan) K(erj)a. Benarlah bahwa banyak aksi unjuk rasa terjadi. Hampir seluruh kota/kabupaten terjadi unjuk rasa. Benar juga ada sebagian besar kelompok muda, seperti mahasiswa maupun organisasi kepemudaan yang melakukan aksi unjuk rasa tersebut.
Sebagian besar masyarakat Indonesia memang menolak produk hukum tersebut, bahkan ada yang dilakukan dengan cara berunjuk rasa. Benar juga bahwa sebagian besar adalah kaum generasi milenial. Sebagian besar, ya. Tetapi apakah semuanya? Tidak juga. Karena “perlawanan” terhadap Undang-undang Cipta Lapangan Kerja itu terjadi secara massif, dan di berbagai tempat.
BACA JUGA: Peran Pemuda pada Masa Pandemi
Mungkin yang menjadi persoalan bagi Megawati adalah efek destruktif yang terjadi akibat demonstrasi tersebut. Banyak aksi unjuk rasa tersebut yang berujung secara anarkis. Vandalisme ditunjukkan dengan perusakan yang ada. Bahkan kerusakan yang diakibatkan menjadi sangat parah. Besar kerugian yang harus ditanggung, akibat efek samping unjuk rasa tersebut. Banyak fasiltas umum yang hancur, rusak, dan harus diganti dengan yang baru. Berapa pula biaya yang dipergunakan untuk memulihkan sarana dan parasana umum tersebut. Itulah mungkin yang menjadi asal-muasal kegelisahan Megawati. Dengan realitas itu pulalah muncullah tesis, bahwa generasi milenial tidak banyak berbuat, selain unjuk rasa atau demonstrasi.
Jika dicermati dan dilihat dari berbagai pembahasan lebih lanjut, benarkan kaum generasi milenial ini yang melakukan pengrusakan? Ternyata setelah dilakukan investigasi, ternyata tidak seluruhnya diakibatkan oleh generasi milenial. Bahkan ada yang dilakukan sepertinya oleh kelompok yang terlatih; tetapi bukan generasi muda seperti mahasiswa.
Generasi milenial adalah aset bangsa dan negara Indonesia. Sebagai orang tua, hendaknya lebih arif dan bijak menyikapi suatu kondisi kekinian yang terjadi. Sebagai orang tua, tatkala melihat anaknya berlaku negatif, maka yang lebih baik adalah dengan mengajaknya berkomunikasi. Ada apa? Maunya apa? Bukan dengan menjustifikasi bahwa kamu salah. Kamu tidak benar.
Anak-anak yang kebetulan berlaku agresif, “perbaikannya” adalah dengan perlakuan yang baik. Perlakuan empatik. Menanyakan keinginan dari hati nurani apa dan bagaimana maunya. Itulah jika orang tua tersebut bijak. Oleh karena itu, jika para generasi milenial, juga dikatakan banyak yang jadi pendemo, sebenarnya apa yang terjadi. Apa maunya generasi milenial, itupun kalau memang para generasi milenial itu yang berunjuk rasa secara anarkis.
Perlu dibangun komunikasi yang efektif agar terpahami apa yang menjadi keinginan kaum generasi milenial. Itulah langkah terbaik yang sejatinya bisa dilakukan dengan menggunakan hati. Tetapi jika dengan justifikasi yang frontal, bisa jadi malah akan membuat anak-anak semakin agresif melakukan tindakan yang lebih tidak terkontrol lagi. Niatnya ingin memperbaiki kondisi generasi milenial, tetapi dikarenakan langkahnya salah, maka didapatkan hasil yang berseberangan dari keinginan semua pihak.
Lakukanlah komunikasi yang baik. Dari hati ke hati. Bahwa generasi milenial perlu dirangkul untuk bisa memberikan kontribusi positif untuk bangsa dan negara. Jadi pendekatannya adalah pendekatan empatik-humanis. Bukan pendekatan secara frontal yang mengatakan bahwa generasi milenial itu tidak berkontribusi terhadap bangsa Indonesia.
Sekali lagi, justifikasi yang negatif akan menjadikan pencitraan diri generasi milenial itu sendiri. Bukan tidak mungkin, karena sudah dikatakan jelek, ya sudahlah berkelakuan jelek sekalian. Itu adalah jalan pikir singkat dan sesat generasi muda, jika mereka tidak mendapatkan simpati dari lingkungan di sekitarnya, terlebih dari para orangtua, mungkin dalam hal ini adalah para pemimpin dan tokoh bangsa.
Haruslah jujur, bahwa banyak generasi milenial yang berkontribusi positif. Banyak yang dilakukan sebagai usaha untuk membangun negeri. Banyak usaha kaum generasi milenial yang berdampak pada eksistensi diri bangsa yang meningkat. Haruslah dipandang sebagai sesuatu yang lebih baik. Prestasi yang ditunjukkan dalam bidang olahraga, bidang ilmu pengetahuan (penelitian), bidang perekonomian, ekonomi kreatif, UMKM, bidang pendidikan, kemandirian usaha, serta berbagai bidang lainnya. Di antara usaha tersebut, tentulah ada yang telah mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Jikapun tidak sampai mengharumkan nama bangsa secara internasional, setidaknya bisa membanggakan diri dan keluarga. Jujur, hal itu sudah dilakukan generasi milenial. Itulah prestasi yang sudah dilakukan oleh sebagian generasi milenial.
Janganlah dikarenakan nila setitik, rusak susu sebelanga. Jangan dikarenakan segelintir kaum generasi milenial yang terikut-ikut dalam aksi unjuk rasa, maka seluruh generasi milenial itu dilabeli sebagai generasi yang tidak berkontribusi terhadap Indonesia. Janganlah begitu. Masih sangat banyak kontribusi yang dilakukan oleh generasi milenial. Bahkan, Presiden Indonesia, Bapak Joko Widodo, selalu membanggakan para generasi milenial.
Akhirnya, mempertanyakan sumbangsih generasi milenial, adalah hal yang biasa. Tetapi dengan memberikan stempel negatif terhadap generasi milenial adalah suatu kekeliruan yang sangat besar. Genarasi muda, perlu dirangkul, diajak baik-baik. Diajak berkomunikasi dari hati ke hati. Inilah yang belum dilakukan. Mulailah sekarang. Sehingga Hari Sumpah Pemuda 2020 tetap bermakna untuk menata Indonesia ke depannya!
====
Penulis Sekretaris Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]