Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Komnas Perempuan merilis hasil kajian terkait kebijakan PSBB dan dampaknya terhadap hak konstitusional perempuan. Hasilnya Komnas Perempuan menyebut terjadi peningkatan pernikahan dini, kekerasan terhadap perempuan, dan tingkat stres pada perempuan.
Kajian itu dilakukan pada bulan Maret-Juli 2020, dan dilakukan survei dan analisisnya. Kajian tematis terhadap 7 tema, yaitu kesehatan, jaminan sosial, sosial ekonomi, sosial kemasyarakatan, keamanan, pengadaan layanan dan perempuan pembela HAM.
Metode yang dilakukan dengan metode stock taking dari kajian Komnas Perempuan, dilengkapi dengan desk review, kajian atau dokumen atau kebijakan dan kajian lain yang memvalidasi data informasi dan analisis.
Adapun temuan Komnas Perempuan beberapa diantaranya terjadinya keguncangan ekonomi karena pandemi yang mengimplikasi risiko PHK bagi perempuan, penurunan pendapatan dan kesejahteraan pekerja perempuan, serta penurunan produktivitas karena beban ganda. Serta meningkatnya pernikahan anak menjadi 34 ribu pada Januari-Juni 2020.
"Seputar kesehatan reproduksi, keterbatasan akses layanan kontrasepsi, kehamilan tidak dikehendaki, dan peningkatan perkawinan anak sebagai isu serius untuk segera bisa direspons," kata anggota Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor, yang disiarkan secara virtual di YouTube Komnas Perempuan, Kamis (10/12/2020).
Sementara itu, Komnas Perempuan juga mencatat meningkatnya kekerasan fisik pada perempuan, salah satunya akibat suaminya di-PHK dan mengalami depresi. Berdasarkan data Komnas Perempuan, perempuan berpenghasilan di bawah Rp 5 juta berisiko mengalami kekerasan.
"Pada kelompok dimana 80 persen dari responden perempuan pada kelompok berpenghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan mereka mengalami kekerasan yang cenderung meningkat. Jadi kelompok rentan adalah perempuan yang berpenghasilan kurang dari Rp 5 juta per bulan, pekerja sektor informal berusia antara 31-40 tahun, berstatus perkawinan menikah, memiliki anak lebih dari 3 orang dan menetap di 10 provinsi dengan paparan tertinggi COVID-19," kata Konsultan AIPJ2 (Australia Indonesia Partnership for Justice 2) Dati Fatimah.
Dati mengatakan kekerasan tersebut terjadi di ranah privat, dan jumlah yang dilaporkan seringkali hanyalah puncak gunung es. Sementara itu, terkait PSBB perempuan menjadi sulit mendapatkan akses terhadap perlindungan.
"Terkait dengan PSBB kaitannya ternyata PSBB juga bisa menghalangi akses perempuan korban pada perlindungan, misalnya karena mobilitas fisik terbatas mereka terkungkung di rumah dengan pelaku," kata Deti.
"Kita tahu bahwa sebagian besar pelaku adalah orang terdekat, mereka mungkin tidak punya akses teknologi digital untuk mengakses layanan perlindungan yang sekarang berubah menjadi daring dan juga implikasi ekonomi pada kekerasan dan sebaliknya," imbuhnya.
Selain itu, perempuan juga mengalami tingkat stres akibat beban ganda pada masa PSBB, meskipun sebelum pandemi peran ganda juga telah terjadi. Komnas Perempuan mencatat 2 dari 3 responden mengalami peningkatan beban kerja pengasuhan dan perawatan selama masa pandemi.
"Ilustrasinya begini, kita di rumah yang perempuan buka laptop, tapi sambil mengasuh anak, kita berpikir apakah ada makanan di meja, apakah rumah sudah di bersihkan, dsb, tapi mungkin laki-laki tidak akan berpikir seperti itu tapi itu lah narasi peran gender diajarkan dan dilekatkan dan dipraktekkan," katanya.
"Data Komnas mengatakan bahwa 2 dari 3 responden mengerjakan tugas rumah tangga mengaku telah terjadi peningkatan beban kerja pengasuhan dan perawatan selama masa pandemi. 1 dari 3 responden mengatakan beban ganda meningkatkan stres," imbuhnya.
Komnas Perempuan mencatat beban ganda ini berimplikasi serius terhadap kesehatan mental, kelelahan hingga produktivitas. Selain itu beban ganda perempuan juga dianggap menjadi tidak produktif dibanding laki-laki.
"Misalnya karena beban ganda misalnya perempuan dianggap tidak produktif, tidak seproduktif laki-laki gitu ya dan itu juga berisiko terhadap peningkatan ketegangan dan kekerasan rumah tangga," ungkapnya.
"Jadi konstruksi sosial tentang peran gender ternyata tidak berubah walaupun kondisi ekonomi, kondisi sosial yang lain berubah dan itu berimplikasi wajahnya adalah beban ganda yang ditanggung oleh perempuan," sambungnya.(dtc)