Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Sesosok artis papan atas tiba-tiba muncul dari belakang panggung. Suara gendang dan alat-alat musik lainnya segera membahana lewat sound system yang cukup memekakkan telinga itu. “Shalom, saudaraku!” begitu ia menyapa ribuan jemaat yang hadir pada malam itu. Dengan penuh semangat dan sukacita, seluruh hadirin segera menyahut, “Shalom!”
Suara emas sang artis itu lalu menggelegar melantunkan kidung-kidung rohani. Satu lagu. Dua lagu. Hingga tiga lagu ia nyanyikan. Seluruh hadirin turut larut bernyanyi bersama vokalis, yang namanya sudah tak lagi asing itu. Ia amat populer. Konon, hanya untuk sekali manggung, dalam sebuah acara spesial seperti Natal, panitia harus merogoh kocek cukup dalam.
Tiga lagu dilantunkan, dua orang pembawa acara berparas ayu yang berdandan bak putri Indonesia lalu naik ke atas panggung. Saya berpikir mungkin akan segera berlanjut ke mata acara berikut, ternyata tidak. Pembawa acara bersuara seksi itu justru memperkenalkan dua bintang tamu lainnya. Dua penyanyi perempuan yang tak kalah beken segera memasuki panggung. Suara musik kembali bergema mengiringi alunan suara mereka.
Acara Natal malam itu benar-benar seperti sebuah konser raksasa yang dikemas begitu apik dan mewah. Ribuan umat yang hadir tidak hanya disuguhi penampilan artis-artis top ibu kota, tetapi juga hidangan Natal yang berlimpah ruah. Belum lagi acara lucky draw-nya, yang nilai setiap hadiahnya tergolong cukup mahal: jutaan hingga belasan juta rupiah.
Kisah di atas adalah sepenggal cerita ketika saya diajak oleh seorang teman menghadiri sebuah perayaan Natal di sebuah hall megah beberapa tahun lalu. Sebuah perayaan Natal yang memamerkan kemewahan. Sebuah perayaan Natal yang membutuhkan tidak sedikit dana untuk menyelenggarakannya. Sebuah perayaan Natal para kaum berduit.
Setidaknya, hingga Natal tahun 2019, perayaan-perayaan Natal yang teramat glamor semacam itu marak digelar. Tapi pada Natal tahun ini, di tengah Covid-19 yang kian mengganas, Natal hanya akan dirayakan dengan sangat sederhana. Tidak akan ada Natal yang menghadirkan ribuan jemaat. Karena hal itu menyalahi protokol kesehatan Covid-19.
Namun saya berpendapat, Natal saat pandemi kali ini justru menjadi momen paling tepat bagi umat Kristiani untuk merenung, apakah perayaan Natal berkemas keglamoran seperti yang selama ini acap dilaksanakan sudah tepat atau malah telah melenceng dari makna Natal yang sesungguhnya. Benarkah perayaan semacam itu yang dikehendaki Sang Ilahi?
Kurang lebih 2.000 tahun lalu, Yesus lahir. Ia lahir bukan di sebuah rumah sakit megah, atau di sebuah pondok bersalin terbaik kala itu. Tetapi Ia lahir di kandang domba yang dekil, di sebuah tempat yang begitu hina, sebuah tempat yang sesungguhnya jauh dari kata layak sebagai tempat melahirkan seorang bayi. Ia lahir bukan dalam kelimpahan tapi sebaliknya, dalam kesahajaan.
Pesan apa yang kita dapat petik dari kelahiran Yesus tersebut? Kesederhanaan dan kepapaan. Di dalam kitab suci, Ia acap berbicara tentang kemiskinan. Di dalam Injil Matius misalnya, Ia berkata, “Sesungguhnya, segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang yang paling hina ini, kamu juga tidak melakukannya untuk Aku.”
Artinya apa? Ketika kita menyebut diri sebagai seorang yang taat beragama dan percaya kepada Tuhan, tetapi kita abai terhadap orang-orang di sekeliling kita, terlebih-lebih kepada mereka yang kurang mampu secara ekonomi, itu sama saja bohong. Ketaatan kita itu semestinya dimanifestasikan dengan memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap sesama.
Di kota tempat kita tinggal, bukanlah sesuatu hal yang sulit untuk menemukan orang-orang yang hanya untuk dapat makan dua kali sehari saja susah. Dan tidak sedikit pula yang tidak beruntung memiliki hunian yang layak. Masih ada pula jutaan anak yang terpaksa harus putus sekolah hanya karena ketiadaan biaya, atau karena desakan ekonomi, sehingga mereka terpaksa ikut membantu orangtua mencari nafkah.
Jika kita kembali kepada ajaran Yesus untuk memperhatikan mereka yang paling hina dalam Injil Matius tadi, wajarkah Natal dirayakan layaknya sebuah pesta besar, sementara ada orang-orang fakir, yang kebetulan tidak “seberuntung” kita, di sekitar kita yang sedang berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan mereka?
Layakkah Natal dirayakan dalam bungkus glamoritas ketika ada anak-anak yang tidak berani datang ke gereja untuk turut merasakan kegembiraan bersama teman-teman sebaya mereka untuk merayakan hari kelahiran Juruselamatnya hanya karena ia tidak memiliki baju atau sepatu baru? Dari dekat saya melihat, ada begitu banyak anak yang mengalami hal demikian. Mereka malu datang ke rumah ibadahnya hanya karena kesusahan mereka.
Natal bukanlah tentang egoisme, tetapi tentang solidaritas. Yesus datang ke dunia menjadi sama seperti manusia adalah untuk menebus manusia dari dosa. Kita, sepatutnya meneladani pengorbanan-Nya itu dengan senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai solidaritas dalam keseharian kita. Lewat Natal, kita diingatkan untuk menunjukkan kepedulian dan kasih kita kepada mereka yang terpinggirkan dan yang “kurang beruntung” dalam hidupnya.
Natal bukan pula tentang kemewahan, tetapi tentang kesederhanaan. Sebagaimana di awal tadi saya sebut, Yesus lahir bukan di rumah sakit mewah dan bukan pula di istana megah. Ia lahir di kandang domba. Maka sepatutnya kita merayakan Natal dalam kesederhanaan. Natal semestinya menjadi kabar baik bagi semua orang bukan justru memicu munculnya kecemburuan sosial, yang pada akhirnya, Natal akan kehilangan maknanya.
Oleh karenanya, masa pandemi kali ini menjadi saat tepat bagi kita untuk mengembalikan Natal pada kesejatiannya. Yakni Natal yang menjadi kabar baik bagi seluruh umat manusia. Natal yang menumbuhkan kepedulian terhadap sesama (solidaritas) dan Natal yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di tempat yang semestinya, bukan justru menimbulkan kecemburuan sosial (kesederhanaan).
===
Penulis PNS di Pemkab Humbang Hasundutan.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]